MAKASSAR, RAKYATSULSEL- Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga meminta agar pajak hiburan dibebankan sebesar 10 persen. Sebab menurut dia, selama ini pajak yang dibebankan ke pengusaha hiburan sebesar 25 persen sudah cukup berat.
Pasalnya, dalam pengelolaannya para pengusaha juga perlu membayar kewajiban lainnya, seperti membayar gaji pegawai dan bayar rol material, biaya operasional yakni listrik dan lainnya.
Sehingga, Anggiat mengaku penerapan pajak hiburan sebesar 10 persen dinilai cukup ideal bagi para pengusaha.
"Itu 25 persen saja sudah ngos-ngosan, loyo-loyo, jadi memang idelnya pajak itu 10 persen kalau bicara ideal, ini perlu disampaikan dalam kajian akademik yang disusun oleh kementrian Hukum dan Ham itu sebenarnya ada pasalnya, bahwa pajak itu tidak bisa di diskriminasi," jelas Anggiat.
Anggiat mengatakan dalam kajian akademik yang disusun oleh Kementrian Hukum dan Ham itu terdapat pasal yang berbunyi bahwa pajak itu tidak bisa di diskriminasi.
Ia mengatakan dengan adanya perbedaan pajak hiburan dan restoran telah masuk ke dalam bentuk diskriminasi, apalagi jika berada dalam satu perusahaan. Misalnya, ia mencontohkan, orang yang makan nasi goreng di club dan orang yang makan nasi goreng di restoran di Hotel Claro itu masuk dalam jenis pajak yang berbeda. Hal itu tentunya sebuah diskriminasi karena masih berada di satu lingkup perusahaan yang sama dengan chef yang sama.
"Makan di restoran nasi goreng Rp50.000, makan nasi goreng di club dengan pendekatan harga itu sudah berbeda, sudah diskriminasi, tempat yang sama. Hendaknya pemerintah jangan membuat diskrimasi terhadap pajak, kalau makan di restoran 10 persen yah di club juga 10 persen," jelas Anggiat.
Sementara itu, range pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sekitar 40 hingga 75 persen, Anggiat menyebut meski di angka pajak terendah yakni 40 tetap masih terasa besar bagi pengusaha.
"40 persen tidak mungkin, misalkan 100 rupiah kita dapat uang 40 rupiah sudah masuk 60 rupiah bagaimana bisa hidup. Bayar PBB lagi, tidak bisa. 40 persen juga memberatkan, kembalikan saja seperti 10 persen," tutup Anggiat.
Sementara itu, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto mengungkapkan pajak hiburan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bukan Pemerintah Kota Makassar.
Meski begitu, Danny Pomanto, sapaan akrabnya mengaku usulan PHRI untuk pajak hiburan sebesar 10 persen merupakan hal yang wajar dilayangkan.
"Itu kan ditentukan sama negara semua kita tidak punya wewenang soal itu. Usulkan boleh. Tapi ini kan negara yang tentukan. Sah-sah saja," jelas Danny. (Shasa/B)