Oleh: Ibnu Hadjar Yusuf
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Gerakan mahasiswa merupakan salah satu kekuatan sosial yang memiliki potensi besar untuk mengawal demokrasi. Gerakan mahasiswa dapat berperan sebagai agen perubahan yang menyuarakan aspirasi rakyat dan mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi.
Dalam konteks intertekstualitas, gerakan mahasiswa dapat dilihat sebagai bagian dari tradisi intelektual yang telah lama ada dalam sejarah manusia. Tradisi intelektual ini dapat dilacak kembali ke zaman Yunani kuno, ketika para filsuf dan ilmuwan berkumpul di akademi-akademi untuk mendiskusikan berbagai isu penting, termasuk politik dan pemerintahan.
Gerakan mahasiswa modern dapat dilihat sebagai penerus tradisi intelektual ini. Mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki akses terhadap pendidikan tinggi dan informasi. Mereka memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan menganalisis berbagai isu. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dapat menjadi kekuatan yang penting dalam mendorong kemajuan demokrasi.
Berikut adalah beberapa contoh konkret gerakan mahasiswa yang membawa perubahan di berbagai negara;
Di Amerika Serikat, gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an berhasil mendorong pemerintah untuk menghapuskan segregasi rasial dan memperkuat hak-hak sipil.
Di Tiongkok, gerakan mahasiswa pada tahun 1989 berhasil mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi politik, tetapi kemudian dibubarkan secara brutal oleh pemerintah.
Di Korea Selatan, gerakan mahasiswa pada tahun 1980 berhasil menggulingkan rezim otoriter Chun Doo-hwan.
Di Myanmar, gerakan mahasiswa pada tahun 2021 berhasil menggulingkan rezim militer yang berkuasa selama beberapa dekade.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa dapat memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik dan pemerintahan. Gerakan mahasiswa dapat menjadi kekuatan yang mendorong kemajuan demokrasi, tetapi juga dapat menjadi sasaran represi dari pemerintah.
Di Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peran penting dalam sejarah demokrasi. Gerakan mahasiswa telah berperan dalam berbagai peristiwa penting, seperti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Reformasi 1998, dan gerakan antikorupsi. Gerakan mahasiswa telah membawa perubahan-perubahan positif bagi Indonesia, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial.
Baru-baru ini, pada tanggal 19 Januari 2024, Forum Anomali dan IMM Parepare, dihadiri oleh Melky Sedek (Ketua BEM Universitas Indonesia), Haikal (Ketua BEM Universitas Padjajaran Bandung), Hafiq (Sekjek Senat Mahasiswa Paramadina), Gilbran (Ketua BEM Universitas Gajah Mada) dll, menyelenggarakan diskusi tentang masa depan demokrasi dan anomali demokrasi di Indonesia.
Namun, diskusi tersebut diduga dibubarkan oleh Polres Parepare atas instruksi Kapolda Sulsel. Tindakan ini merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merupakan hak dasar setiap warga negara.
Tindakan intimidatif yang dilakukan oleh Polda Sulsel dan Polres Parepare terhadap diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Anomali dan IMM Parepare merupakan bentuk ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia. Tindakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merupakan hak dasar setiap warga negara.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Anomali dan IMM Parepare merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Diskusi tersebut membahas tentang masa depan demokrasi dan anomali demokrasi di Indonesia. Pembahasan ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam rangka menjaga dan memperkuat demokrasi.
Namun, tindakan intimidatif yang diduga dilakukan oleh Polda Sulsel dan Polres Parepare telah menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Tindakan ini juga telah melanggar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan dan atau tulisan.
Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Skor indeks demokrasi Indonesia turun dari 6,71 pada tahun 2019 menjadi 6,3 pada tahun 2020, dan turun lagi menjadi 6,18 pada tahun 2021.
Kasus-kasus penangkapan aktivis terjadi di mana-mana. Berikut adalah beberapa contoh penangkapan aktivis lingkungan dan demokrasi semenjak jabatan Jokowi:
Anita Kolopaking, aktivis lingkungan yang dikenal dengan perjuangannya untuk melindungi hutan di Kalimantan Barat, ditangkap pada tahun 2017 atas tuduhan pencemaran nama baik.
Jasmine Puteri, aktivis lingkungan yang dikenal dengan perjuangannya untuk melindungi hutan di Papua, ditangkap pada tahun 2021 atas tuduhan makar.
M. Nasir, aktivis lingkungan yang dikenal dengan perjuangannya untuk melindungi hutan di Kalimantan Selatan, ditangkap pada tahun 2022 atas tuduhan penghasutan.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, aktivis HAM yang dikenal dengan perjuangannya untuk mengungkap kasus korupsi, ditangkap pada tahun 2021 atas tuduhan pencemaran nama baik.
Nurhadi dan Fikri Faqih, jurnalis Tempo yang dikenal dengan liputannya tentang kasus korupsi, ditangkap pada tahun 2022 atas tuduhan penyebaran berita bohong.
Penangkapan-penangkapan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bagi kita dan generasi kedepan dan hari ini kita menyaksikan pembungkaman aktivis mahasiswa. Pemerintah harus menghentikan upaya tersebut dan menjamin kebebasan berpendapat bagi semua orang, termasuk aktivis mahasiswa.
Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua agar masadepan indonesia tetap bisa dijaga oleh mahasiswa yang memegang erat fungsinya sebagai agen perubahan yang terpanggil hatinya untuk melakukan yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat (moral Force). (*)