Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pergaulan hidup sering kali mempertontonkan perilaku berupa penampakan lahiriah yang ditangkap mata kita. Kesan yang muncul dengan penampilan seseorang membuat kita terpesona sehingga mudah memengaruhi karena adanya rekayasa penampilan.
Misalnya, seorang merekayasa perilaku dengan maksud agar orang lain menganggapnya sebagai orang terhormat, pintar, atau kaya. Jika hal ini dilakukan sekedarnya tidak apa-apa, namun jika dilakukan secara berlebihan masuk kategori cinta pada penghormatan, mengandung konsekuensi dosa.
Jika seseorang berusaha menampilkan diri sedemikian rupa sehingga orang lain menilainya sebagai eksekutif berkelas (misalnya dengan memakai pakaian yang mahal yang didesain khusus, parfum produk luar negeri) yang dibeli dengan alasan demi gengsi, dapat dikategorikan sebagai kecintaan akan penghormatan.
Berbeda jika seseorang merekayasa penampilan lahiriah agar dinilai oleh orang lain sebagai orang yang saleh atau taat beribadah, hal seperti ini disebut riya. Meskipun keduanya bersumber dari hati, namun dengan mudah dapat kita bedakan. Ada tiga tanda orang yang riya yakni sangat rajin beribadah jika ada orang yang melihatnya, dia malas jika sendirian, dan dia sangat senang jika dipuji dalam segala urusan.
Imam Al-Ghazali mengatakan riya dapat dilihat melalui lima hal. Pertama, dengan melalui tubuh kita. Misalnya seseorang yang menguruskan tubuhnya untuk menunjukkan bahwa dia orang yang senantiasa berpuasa setiap hari, atau orang yang sengaja menggetarkan tubuhnya ketika salat untuk menunjukkan betapa khusyuknya dia dalam salat. Kedua, pakaian atau penampilan lahiriah.
Misalnya, untuk menampakkan kesalehan dengan memakai serban, senantiasa membawa tasbih, dan menggunakan baju khusus. Tentu saja, tidak semua yang berpenampilan seperti ini adalah orang yang riya. Ketiga, dilakukan melalui ucapan atau perkataan.
Misalnya ada orang yang senantiasa mengatur pembicaraannya supaya terkesan sebagai seorang santri. Selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi. Dia menampakkan kesalehan melalui kata-kata suci dari ucapan-ucapannya.
Keempat, melakukan riya melalui perbuatan atau perilaku. Misalnya memanjangkan ruku dan sujudnya ketika salat untuk menampakkan kekhusyukan. Ketika mengimami orang banyak, dia baca surah yang panjang sedang ketika salat sendirian dia baca surah pendek.
Ketika di masjid dia melakukan banyak salat sunat, sedang ketika sendirian atau di rumah, tidak melakukannya. Kelima, orang melakukan riya dengan menunjukkan sahabat atau teman-teman dekatnya yang saleh dan terpandang. Agar terkesan bahwa dia orang yang hebat dan mulia, karena bersahabat dengan orang-orang yang terkenal dan terpandang.
Meskipun demikian, tidak semua perilaku dan perbuatan kita yang diatur secara lahiriah dikategorikan sebagai perbuatan ria. Jika seorang melakukan perbuatan kebajikan agar dicontoh atau diikuti orang lain bukanlah perbuatan ria.
Karena ria tidak diukur dari terlihat atau tidaknya amal, melainkan diukur dari tujuan amal itu dilakukan. Ria jangan digunakan untuk menilai orang lain, tapi gunakan untuk menilai perbuatan diri sendiri.
Perbedaan ria dan bukan ria sangat tipis. Semuanya kembali kepada hati nurani masing-masing. Ciri orang yang ria adalah memiliki dua wajah: wajah publik dan wajah privat.
Wajah publik adalah wajah yang dia tampilkan di hadapan umum, sedangkan wajah privat adalah penampilan yang dia tampilkan di lingkungan terbatas.
Misalnya orang yang senantiasa menambah amalnya jika di hadapan orang banyak dan mengurangi amalnya jika dia seorang diri.
Lawan dari riya adalah ikhlas, yakni membantu orang lain karena Allah dan tidak mengharapkan balasan dan terima kasih. Sedangkan riya adalah membantu orang lain dengan mengharap balasan minimal ucapan terima kasih. (*)