Oleh: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mengawali tulisan ini, saya mau meminjam istilah Rocky Gerung ; “bahwa politik dan demokrasi itu harus di pertengkarkan dengan argumen bukan dengan sentimen”.
Kalimat tersebut sesungguhnya mengajak kita untuk membangun peradaban berfikir, betapa rasionalitas sangat dibutuhkan dalam politik untuk membangun demokrasi yang bermartabat, sehingga pilihan-pilihan itu harus di ilhami oleh logika dan akal sehat bukan dengan emosional dan sentimentil.
Bahwa kemudian ini menjadi hal mendasar dalam membangun demokrasi dalam berbagai tantangan dan rintangan menghadang. misalnya ketika ada seminar atau diskusi diadakan di dalam kampus dengan mengundang narasumber tertentu seperti Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, Syahganda Nainggolan, dan beberapa tokoh lainnya kadang ada larangan untuk kegiatan yang bersangkutan dengan alasan ketertiban dan lain sebagainya.
Ini kenaifan dalam membangun kecerdasan berpolitik warga negara ketika diskusi saja di larang. Ada dimensi etis dan pengetahuan yang coba ditengarai kekuasaan untuk membatasinya.
Dan bukan hanya soal itu, bahkan ada seseorang sebagai lembaga survei atau konsultan politik dengan nada angkuh mengutarakan dalam satu channel podcast yang mengatakan bahwa Anies Baswedan tidak akan mungkin lolos mendaftarkan diri ke KPU sebagai capres di Pemilu 2024, bahkan dengan nada sombong yang bersangkutan taruhan mobil alphard.
Sebagai masyarakat awam, setidaknya sebagai lembaga survey atau konsultan seharusnya mengedepankan basis argumen intelektualitasnya bukan justru menyuguhkan basis sentimentil. Justru publik akan melihat mana lembaga survey yang betul-betul independen dan mana yang berbayar. Dan sangat di sayangkan bagi seorang yang punya basis akademik justru menampar dirinya sendiri.
Peran lembaga survey tentunya diharapkan membuka ruang keilmuan dengan basis data yang ada sebagai bentuk pertanggungjawaban pengetahuan kepada publik. Tetapi kenyataannya sebagian (walau tidak semuanya) justru ada lembaga survey yang dari awal memunculkan polemik seperti presiden tiga periode oleh Qodari.
Walau wacana tersebut banyak yang menentang karena itu tidak sesuai dengan konstitusi negara.
polling demi polling dilakukan untuk mengendorse capres cawapres yang ada. Seperti LSI Denny JA, Indobarometer, Poltracking, Litbang Kompas, vox populi, LSN, SMRC dan beberapa lembaga lainnya. Dan hampir setiap saat lembaga survei merilisnya.
Dari pasangan calon terus di-up oleh lembaga-lembaga survei. Belum lagi dengan survey-survey independen oleh lembaga kampus dan partai politik yang bersangkutan. sehingga posisi pasangan Prabowo-Gibran selalu menempati posisi teratas di bandingkan kedua pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sekalipun proses politik tidak ditentukan oleh hasil survey tetapi ditentukan oleh rakyat di TPS masing-masing.
Pembentukan Opini
Dalam ilmu sosial ada beberapa cara membentuk opini publik yakni dengan cara menemukan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan—sehingga seseorang dapat menerima suatu kebenaran sesuai deskripsi fakta yang ada.
Dalam studi politik modern saat ini kita mengenal berbagai lembaga konsultan atau lembaga survey yang muncul untuk melihat tingkat keterpilihan, kesukaan, elektabilitas seseorang dengan menyebarkan angket atau pertanyaan-pertanyaan yang di maksud dengan mempertimbangkan responden dengan klasifikasi ; pendidikan, status sosial, mata pencaharian, tingkatan umur, dan jenis kelamin dengan mengambil sampel dari suatu masyarakat tertentu—tetapi bukan keterwakilan, namun hanya sebagai random, sehingga kemudian di tariklah hasil data survey atau hasil riset.
Sehingga bagi masyarakat awam menganggap bahwa hasil survey adalah penentu segalanya, hal ini pula yang kemudian menciptakan perdebatan antar kelompok pendukung atau tim sukses pasangan calon presiden. Sentimentil menurut sebagian orang adalah upaya propaganda untuk membentuk opini publik sekaligus penggiringan opini.
Tentu sangat diharapkan lembaga survey yang berangkat dari basis intelektual akademik dapat dipertanggungjawabkan sebagai bahan kajian sekaligus monitoring bagi seseorang yang menggunakan lembaga survei.
Sebab media sosial penuh dengan sampah perdebatan tentang hasil survey yang setiap kali dirilis. Memang agak aneh, apakah lembaga survei itu bekerja secara sukarela atau independen?, atau berbayar?, kalau ia bekerja secara sukarela atau independent maka akan dipenuhi suguhan argumen yang basisnya kekuatan analisis akademik, tetapi kalau itu berbayar, maka wajar akan dipenuhi suguhan sentimen, karena lebih berorientasi income dan reward.
Ini tentu sangat berbahaya bagi lembaga survey yang bersangkutan, bila calon yang ia survey dengan tingkat keterpilihan tinggi secara angka-angka, tetapi kenyataannya calon tersebut kalah maka ada konsekuensi logis yang ia harus diterima ; (a) menebarkan kebohongan publik. (b) membohongi calon kompetitor yang ia dampingi (c) karena telah berbohong, maka tentu dengan legowo ia harus membubarkan diri sebagai lembaga survey. Ini berat, tetapi itu sebuah konsekuensi dalam politik.
Bill Murrey berkata ; kalau pemerintah berbohong kepada rakyatnya, itu adalah politik. Tetapi ketika rakyat yang berbohong kepada pemerintah, itu adalah kejahatan. (If the government lies to the people politics. But if the people lies to the government, it’s a crime.)