Sementara itu, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau (Unri) Dewi Anggraini mengatakan, resistensi antimikroba berpotensi terjadi saat konsumsi obat antibiotik yang tidak tepat penggunaan oleh pasien, kendati sudah menggunakan resep atau tanpa resep dokter seperti banyak terjadi di Riau.
Dia mengakui pernah ditolak saat membeli obat antibiotik di Jogjakarta tanpa resep dokter.
”Akan tetapi setelah saya jelaskan dan membuktikan bahwa saya adalah dokter, mereka baru bersedia menjual obat antibiotik itu tanpa resep dokter,” terang Dewi Anggraini.
Dewi yang melakukan studi kasus pada RSUD Arifin Ahmad Riau dan RS Eka Hospital Pekanbaru mengungkapkan, muncul hambatan dan kendala dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba itu. Sebab masih terjadi banyak ragam pemahaman penggunaan antibiotik di kalangan dokter.
”Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) belum memiliki tenaga purna waktu dan masih ada dokter yang belum mau mengikuti pedoman penggunaan antibiotik, belum memeriksa kultur sebelum pemberian antibiotik, belum menjadikan penggunaan antibiotik sebagai budaya penghargaan atau risiko,” papar Dewi Anggraini.
Karena itu, menurut dia, perlu sosialisasi secara berkesinambungan dan perlunya memperbarui panduan penggunaan antibiotik dan antibiotik profilaksis secara berkala. (JP/RAKSUL)