Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Secara moral seorang pemimpin merupakan suatu keniscayaan baginya untuk berpegang pada etika. Tidak larut dalam hegemoni kekuasaan yang dimiliki, sehingga kebenaran hanya pada dirinya sementara yang lain tidak perlu mendapat perhatian.
Termasuk ketika ada di antara yang dipimpinnya menyampaikan saran atau kritik terhadap kepemimpinannya. Seorang pemimpin tidak hanya mengapresiasi yang mendukung dan menyanjungnya, dia pun harus bijak menerima ketika ada yang menunjukkan kekeliruan dan kealpaannya.
Sahabat sejati bukan hanya yang ikut tertawa pada saat bahagia, namun yang tulus menangis bersama di saat kesengsaraan menyelimuti.
Ketika seorang pemimpin berhasil dalam kepemimpinannya, hendaknya pemimpin tersebut menyadari bahwa keberhasilan yang diraih bukan semata-mata karena kecerdasan dan kepiawaiannya dalam memimpin, melainkan di sana ada dukungan orang lain termasuk orang-orang yang dipimpinnya.
Demikian pula bawahan jika berhasil melaksanakan tugas yang diamanahkan atasannya, di sana ada peran atasan dalam menuntunnya. Sehingga tidak akan mudah melahirkan sikap arogansi pada diri masing-masing. Bahkan ketika seorang pemimpin menemui kegagalan, dia tetap harus bersikap lemah lembut terhadap yang dipimpinnya, jika dia bersikap kasar tentu mereka yang dipimpin akan menjauh darinya.
Karena itu, etika seorang pemimpin adalah pertama, bersikap lemah lembut. Bukan justru mempertontonkan sikap arogansi dan emosional dalam mengayomi masyarakat yang dipimpinnya.
Ketika memimpin masyarakat apalagi mengajak kepada kebajikan, seorang pemimpin harus siap-siap kecewa melihat kinerja yang dipimpinnya dan dia pun harus siap untuk tidak marah. Memang sulit rasanya untuk bersikap lemah lembut pada saat kecewa, karena hal tersebut berkaitan dengan rahmat Tuhan.
Sikap lemah lembut lahir karena rahmat Tuhan, karenanya seorang pemimpin harus menyerap lebih banyak sifat-sifat ketuhanan. Semakin banyak menyerap sifat-sifat Tuhan, maka seorang pemimpin semakin dekat dengan Rahmat-Nya.
Maha Kasih terhadap hamba-hambanya adalah satu di antara sifat kasih sayang yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya termasuk kepada mereka yang berbuat maksiat sekalipun, Tuhan dengan sabar menanti yang bersangkutan kembali kepada-Nya dengan menyadari kesalahan yang dilakukannya.
Kita pun dalam kehidupan ini banyak berbuat maksiat, tetapi karena kasih sayang Allah, Dia menutup kejelekan itu. Padahal Allah tidak senang dengan kemaksiatan itu, tetapi meskipun demikian Allah menutup kemaksiatan yang kita lakukan agar tidak banyak manusia yang mengetahui kejelekan kita.
Dalam riwayat disebutkan ada seratus rahmat Allah, yang diturunkan ke bumi hanya satu. Dengan rahmat Allah itu kita semua saling mengasihi, termasuk binatang buas juga menyayangi anaknya.
Kedua, memaafkan. Kalau mereka mengecewakan kita, mereka menyerang kita, mereka menyakiti kita, bahkan mereka menghianati kita, maka seorang pemimpin harus memaafkan. Karena kesalahan yang mereka lakukan berkaitan dengan hak kita.
Namun, jika kesalahan yang mereka lakukan berkaitan dengan hak Allah, maka mohonkan ampunan bagi mereka. Jadi seorang pemimpin harus memiliki etika memaafkan sekaligus memohonkan ampunan Allah terhadap kesalahan yang dilalukan oleh masyarakat yang dipimpinnya. Bukan justru melampiaskan kemarahan dan emosinya kepada mereka yang dipimpin.
Ketiga, musyawarah dalam segala urusan. Muhammad Saw. adalah seorang Rasul sekaligus sebagai seorang pemimpin. Nabi adalah utusan Tuhan yang jelas benar. Jika mengeluarkan pendapat tentu atas tuntunan wahyu. Meskipun demikian, Nabi disuruh bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Hal ini sebagai contoh untuk pemimpin di kemudian hari bahwa mereka harus senantiasa bermusyawarah. Musyawarah bukan hanya diperuntukkan bagi pemimpin masyarakat saja, tapi dalam keluarga pun musyawarah adalah sebuah keniscayaan. (*)