Tidak Tenang di Masa Tenang

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Masa tenang menjelang Pemilihan Umum 2024 akan dimulai pada 11 hingga 13 Februari. Namun, waktu tiga hari menuju pencoblosan menjadi limitasi paling krusial bagi calon anggota legislatif, pengurus partai, dan tim sukses calon presiden dan calon wakil presiden.

Pada masa tenang dipastikan tak akan tercipta 'ketenangan' karena bisa menjadi penentu dalam meraih suara bagi peserta pemilu.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan, Saiful Jihad mengatakan di masa tenang sangat berpeluang terjadinya banyak pelanggaran yang bisa mengarah pada dugaan tindak pidana pemilu. Beberapa praktik politik kotor yang kerap terjadi yakni terjadinya politik uang dan kampanye terselubung atau di luar jadwal.

"Dua hal itu merupakan tindak pidana pemilu yang biasa terjadi di masa tenang," kata Saiful di sela-sela Coffee Morning bersama stakeHolder di Hotel Claro Makassar, Kamis (8/2/2024).

Saiful mengatakan, pihaknya berupaya mengantisipasi praktik tindak pidana pemilu di masa tenang dengan menyurati penyelenggara dan peserta pemilu.

"Intinya kami mengingatkan bahwa tidak boleh ada kegiatan kampanye karena itu bisa terindikasi pidana,” beber Saiful.

Menurut Saiful, dalam masa tenang seluruh alat peraga kampanye (APK) harus bersih paling lambat pukul 24.00 pada 10 Februari 2024 nanti. Peserta pemilu diminta untuk kooperatif menurunkan seluruh APK. Bawaslu, kata Saiful, juga akan berkoordinasi dengan personel Satuan Polisi Pamong Praja untuk ikut melakukan penertiban.

"Biasanya peserta pemilu abai dengan APK yang mereka pasang sendiri," ucap Saiful.

Smeentara itu, Staf Ahli Gubernur Sulsel Bidang Kesejaterahaan Rakyat, Jayadi Nas mengatakan Sulsel saat ini masih zona hijau dalam segi potensi pelanggaran pemilu. Menurut dia, seluruh pihak terkait harus mengupayakan agar pemilu berjalan dengan lancar tanpa gesekan hingga selesai.

“Yang diharapkan semua pemilu berjalan jujur, adil, dan aman," kata Jayadi.

Eks Ketua KPU Sulsel itu mengatakan, Penjabat Gubernur Bahtiar Baharuddin sangat paham mengenai pemilu karena saat ini juga masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum di Kementerian Dalam Negeri. Itu sebabnya, kata Jayadi, jauh hari pemerintah Sulsel intens melakukan rapat koordinasi dengan pihak terkait baik itu kepolisian, TNI hingga aparatur desa.

“Yang menjadi sorotan publik adalah netralitas ASN, TNI, dan Polri. Kepala desa yang dicurigai tidak netral langsung panggil untuk memastikan menjaga netralitas," imbuh Jayadi.

Jayadi mengatakan, Pemilu 2024 bukan hanya tugas penyelenggara Bawaslu dan KPU, tetapi menjadi pekerjaan seluruh masyarakat. Itu sebabnya, KPU targetkan 80 persen partisipasi pemilih, sehingga semua pihak diharapkan ikut andil memberikan hak pilihnya.

“Kerja-kerja RT/RW juga bisa meminta kepada warganya untuk menyalurkan hak pilihnya,” imbuh Jayadi.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Makassar, Profesor Sukri Tamma menjelaskan, prinsip dasar masa tenang itu adalah untuk cooling down atau memberi pendinginan setelah kurang lebih 70 hari melakukan masa kampanye yang mengurus energi. Menurut dia, selama masa kampanye itu ada banyak isu atau wacana yang menghangatkan situasi perpolitikan dan harus ditenangkan.

"Nah, minggu tenang itu diharapkan memberikan ketenangan bagi masyarakat untuk kemudian betul-betul merenungkan, memikirkan apa yang sudah mereka dapatkan, apa yang sudah mereka terima selama ini (masa kampanye) untuk kemudian nanti pada saat hari pencoblosan bisa menentukan pilihannya dengan tenang dan baik," ujar Sukri.

Hanya saja, kata Sukri, masa tenang itu justru menjadi sarana bagi para calon atau tim sukses untuk mendekatkan diri kepada masyarakat dengan balutan kegiatan-kegiatan yang terkesan tidak melanggar aturan, seperti silaturahmi dan beberapa modus lainnya.

Sehingga menurutnya, masa tenang itu adalah masa abu-abu karena tidak ada batasan bagi seseorang dalam hal ini caleg dan capres-cawapres untuk membatasi diri melakukan pertemuan dengan orang lain.

"Maka seringkali masa tenang menjadi saran untuk para kandidat menggunakan beberapa metode untuk tetap bisa melakukan sosialisasi, berinteraksi dengan pemilih, mencoba mempengaruhi pemilih dengan cara-cara, dalam tanda petik mengakali ketentuan (aturan). Karena kan tiga hari menjelang pemilu itukan tidak dibolehkan untuk kampanye, semuanya berhenti, bahkan tanda-tanda gambar harus dibersihkan dan seterusnya," ucap dia.

"Tapi dalam situasi itu ada banyak jalan yang tidak bisa dihindari, artinya di ruang samar-samar, abu-abu misalnya ada pertemuan yang barangkali di bungkus dengan nama-nama lain atau metode-metode lain. Ini memang bisa diakali karena sampai tiga hari bahkan satu hari jelang pemilihan itu masih ada pemilih yang masih gamang untuk menentukan pilihan. Itulah kenapa masih banyak kandidat yang memakai hari itu untuk gencar memberi pengaruh kepada masyarakat atau pemilih dalam menentukan calonnya," sambung dia.

Maka dari itu, kata Sukri, penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu harus lebih kerja ekstra di masa tenang itu. Melakukan pemantauan lebih ketat terhadap para calon atau tim sukses apakah kegiatan yang dilakukan itu melanggar aturan atau tidak.

"Karena ketemu orang kan tidak mungkin ditolak para kandidat, para calon kan tidak mungkin di rumah saja tidak keluar, tentu tetap akan bersosialisasi. Makanya Bawaslu akan kerja keras di minggu tenang ini karena potensi pelanggaran akan banyak di sini. Kenapa karena sudah tidak boleh ada sosialisasi atau kegiatan kampanye lainnya," imbuh dia.

Lima Kasus Diadili

Sementara itu, Bawaslu Sulsel mencatat ada 43 laporan dugaan pelanggaran di masa kampanye. Lima di antaranya berujung di meja hijau atau pengadilan.

Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli mengatakan dari 43 dugaan pelanggaran kampanye tersebut ada yang tidak memenuhi syarat sehingga dalam pembahasan tersebut diberhentikan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

“Jadi sudah ada lima yang sudah sampai di Sentra Gakkumdu. Dua di antaranya sudah divonis delapan bulan di Bulukumba karena dugaan politik uang. Sementara di Sinjai vonis 2 bulan karena keterlibatan aparatur desa,” kata Mardiana.

Dirinya menyebutkan untuk kasus yang saat ini sudah dipastikan ke pengadilan yakni di Kabupaten Luwu dan Soppeng. “Di Luwu pelibatan aparat desa kalau di Soppeng kasus dugaan politik uang,” ujarnya.

Sementara di Tana Toraja, kata Mardiana, yakni kasus dugaan pelanggaran pemalsuan administrasi yang dilakukan oleh oknum calon legislatif (Caleg). Oknum caleg tersebut saat ini masih berstatus aparatur sipil negara (ASN).

“Jadi ada dugaan manipulasi data dan itu muaranya tindak pidana. Karena dia melakukan manipulasi data,” imbuh dia.

Mardina menyebutkan saat ini Bawaslu telah merekomendasikan untuk dicoret dalam Daftar Calon Tetap (DCT), namun KPU tetap diikutkan sebagai peserta Pemilu. Karena ini salah satu persyaratan.

“Tapi problemnya sudah diputuskan dan dia sudah masuk surat suara. Dan ini juga terjadi di beberapa kabupaten seperti di Bulukumba dan KPU Bulukumba menerima. Kalau di Tana Toraja ini menjadi problem juga," imbuh dia.

Selain itu, Mardiana juga mengatakan saat ini ada dua kasus dugaan politik uang sementara dilakukan pembahasan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Kedua perkara itu yakni dugaan politik uang dilakukan oleh Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran Parepare, Surianto dan dugaan politik uang dilakukan oleh salah satu calon legislatif (Caleg) DPR RI, Dapil Sulsel 1 dari Partai Demokrat, Syarifuddin Daeng Punna.

Ketua TKD Prabowo-Gibran, Surianto diduga membagi bagi-bagi uang di acara Jalan Sehat Satu Putaran yang berlangsung di Taman Mattirotasi, Kota Parepare pada Minggu (4/2/2024). Adapun, Syarifuddin Daeng Punna diduga membagikan uang di wilayah Pantai Losari Kota Makassar.

“Bawaslu Parepare dan Makassar saat ini berkonsentrasi melakukan pendalaman kasus itu," kata Mardiana.

Dirinya menyebutkan dua kasus dugaan politik uang ini tidak serta merta langsung ditingkatkan karena dibutuhkan bukti kuat dan bisa menjerat mereka di pengadilan nanti.

“Walaupun secara video teman-teman berasumsikan kan (Bagi-bagi uang), tapi kita harus menginvestigasi dulu, melakukan pendalaman, kajian di tingkat Bawaslu dan ini masih pembahasan di sentra Gakkumdu,” kata dia. (fahrullah-isak pasa'buan/C)

  • Bagikan