JAKARTA, RAKYATSULSEL - Jaksa penuntut umum (JPU) bakal menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA) dalam menangani kasus pembunuhan yang diduga dilakukan oleh J, seorang anak di bawah umur, di Dusun Lima, RT 018, Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Penerapan UU SPPA ini didasarkan pada usia J yang saat ini masih di bawah 18 tahun.
UU SPPA mengatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan khusus, termasuk proses peradilan yang berbeda dengan orang dewasa. "Kalau kami, JPU, pada intinya sedang menunggu pelimpahan perkara dari penyidik. Memang ini, karena anak berhadapan dengan hukum dan sistem peradilannya berbeda, dan sistem penahanannya pun berbeda, pokoknya lebih cepat lah," kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) PPU Roh Wiharja, dikutip dari Kaltim Post (Jawa Pos Group), Senin (12/2).
Dia mengatakan, penanganan kasus yang menghebohkan publik di Bumi Daya Taka PPU itu menerapkan UU SPPA. Berbeda dengan penilaian publik yang geram dan berharap anak berhadapan hukum yang diduga sebagai pelaku pembantaian sadistik itu dikenai hukuman mati, Roh Wiharja kemarin mengatakan, bahwa pada sistem peradilan anak itu ancaman hukumannya separuh dari orang dewasa.
"Makanya ini nanti melihat (dulu) fakta di persidangannya seperti apa? Dan ke depannya kami menuntutnya seperti apa? ‘Kan belum bisa memastikan karena berkasnya pun belum kami terima (dari penyidik)," jelasnya.
Kendati demikian, dia kembali mengatakan, bahwa pada intinya kejaksaan bakal menerapkan UU SPPA dalam persidangan untuk penanganan kasus terbunuhnya lima orang dalam satu keluarga itu, yaitu WL, 34 sebagai kepala rumah tangga atau suami yang adalah kakak kandungnya, SW (34) selaku ibu rumah tangga atau istri WL, serta tiga buah hati pasangan ini. Yakni RJ 15, VD 12, dan ZA 2,5.
Mereka ini ditemukan tewas dalam rumah mereka sendiri dengan luka bacokan parang yang diduga dilakukan J pada sekira pukul 01.30 Wita, Selasa (6/2) dini hari. Hendri Sutrisno, praktisi hukum di PPU kemarin saat dimintai pandangannya mengenai penerapan UU SPPA itu mengatakan, bahwa Pasal 81 Ayat (2) UU SPPA berbunyi: ”Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama satu perdua dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”.
Kemudian, pasal yang sama Ayat (6) menyebutkan: "Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun".
"Jadi, sesuai ini, maka, maksimal hukumannya hanya 10 tahun," kata Hendri Sutrisno.
Ia dapat memahami kejengkelan dan kekesalan masyarakat yang berharap agar anak yang berhadapan hukum itu diberi pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup. Namun, kata dia, bahasa undang-undang dalam UU SPPA berbeda dengan harapan masyarakat.
"Tolong juga ditulis bahwa pernyataan saya ini tidak dalam kapasitas membela J. Hanya mengutip UU SPPA saja," tuturnya.
Sementara itu, dalam keterangan persnya pada Selasa (6/2) lalu, Kapolres PPU AKBP Supriyanto mengatakan, bahwa anak berhadapan dengan hukum berinisial J dijerat dengan pasal pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup. J yang berstatus sekolah kelas 3 pada sebuah SMK di PPU dikenakan pasal pembunuhan berencana. Kepolisian sendiri bergerak cepat dalam menangani peristiwa ini.
Sehari setelah penetapan tersangka, Polres PPU menggelar rekonstruksi pembunuhan di Mapolres PPU secara tertutup, Rabu (7/2) sore. Kata Suwandi, kuasa hukum yang ditunjuk untuk mendampingi J, terdapat 56 adegan yang diperagakan kliennya. Humas Polres PPU Syafrudin saat ditanya Kaltim Post kapan berkas perkara mengenai kasus pembunuhan ini segera dilimpahkan ke kejaksaan, dia mengatakan, agar media ini menghubungi kasatreskrim.
"(Tapi) sepertinya belum itu," kata Syafrudin yang dikenal akrab dengan wartawan itu, Jumat (9/2). (jp/raksul)