RAKYATSULSEL -Tim kampanye Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, sebelum film itu resmi dirilis di Youtube, menuding bahwa para pembuat Dirty Vote telah melakukan fitnah.
Pro dan kontra hingga kini masih terus mengiringi film yang telah ditonton lebih dari 6,7 juta kali tersebut. Perbincangan terkait materi film itu belum surut di media sosial.
Bagaimana masyarakat semestinya bersikap terhadap Dirty Vote, di tengah riuh rendah tuduhan dan klaim dari berbagai kelompok? Berikut beberapa rangkumannya.
Apa kata Dewan Pers?
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berkata bahwa film Dirty Vote tidak termasuk produk jurnalistik. Namun, kata dia, bukan berarti film itu berisi fiksi atau berita bohong. Alasannya, materi yang disajikan tiga pakar, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari, merupakan fakta pengadilan, rekam peristiwa dalam rangkaian Pilpres, dan analisis akademis.
"Terhadap informasi seperti yang ada dalam film dokumenter ini, sebagian orang bisa memberi penilaian penting, meski ada juga yang mengatakan ini tidak penting. Tapi film ini merupakan dokumenter eksplanatori, jadi bukan karya fiksi," ujar Ninik.
Ninik mendorong publik untuk mencari sumber informasi lain untuk melengkapi pemahaman mereka terkait isu yang dipaparkan film Dirty Vote. Respons masyarakat untuk terus menggali informasi benar dan akurat, termasuk pasca kemunculan film Dirty Vote, disebut Ninik sebagai proses penting dalam demokrasi Indonesia.
"Banyak sumber bisa dijadikan rujukan untuk melengkapi data dan informasi yang disajikan dalam film ini, misalnya melihat putusan pengadilan, klarifikasi kelompok yang membantah, dan bisa juga dari buku atau literatur," kata Ninik.