"Film ini merangkum dan menggambarkan dugaan kecurangan pemilu secara baik dan mudah dicerna oleh pemilih. Film ini adalah gambaran keresahan publik terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu yang diwarnai dengan konflik kepentingan, potensi kecurangan, melawan aturan hukum kepemiluan yang sebetulnya selama ini sudah diadvokasi oleh kelompok masyarakat sipil," kata Ihsan.
"Rasanya terlalu berlebihan jika film ini dituduh sebagai propaganda. Apa yang disampaikan merupakan informasi publik terbuka, hasil dari kerja jurnalistik, dan putusan pengadilan," tuturnya.
Serangan terhadap Dirty Vote tidak beralasan
Profesor Masduki, pakar ilmu komunikasi dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menilai film Dirty Vote memberi informasi penting pemilu yang selama ini luput diberitakan media massa, terutama media penyiaran publik yang dibiayai anggaran negara seperti TVRI.
"Di negara lain, lembaga penyiaran publik menjadi rujukan masyarakat karena mereka menyediakan informasi komprehensif, baik yang edukatif maupun yang investigatif," ujar Masduki.
"Film semacam Dirty Vote semestinya tidak keluar dari lembaga alternatif seperti Watchdoc. Kalau selalu Watchdoc yang membuat laporan seperti ini, berarti ada yang salah dari lembaga penyiaran yang dibiayai publik, yang ternyata tidak memainkan perannya terhadap publik, yaitu membangun sikap kritis masyarakat," tuturnya.
Di sisi lain, kata Masduki, kemunculan film ini menunjukkan bagaimana sikap elite politik dalam menyikapi hasil kerja akademis maupun jurnalistik. Menurutnya, tuduhan tim Prabowo-Gibran bahwa film Dirty Vote merupakan fitnah dan propaganda memperlihatkan sisi buruk budaya politik elektoral Indonesia.
"Film dokumenter seperti ini seharusnya dilawan dengan film dokumenter atau suatu narasi berbasis bukti faktual yang sama. Dalam konteks Dirty Vote, pihak yang dikritik justru melakukan blaming (menyalahkan) dan membuat framing negatif berbasis pernyataan," kata Masduki.