Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki derajat yang sama, berupa hak antar sesama manusia, baik laki-laki dan perempuan, antar bangsa, suku, dan keturunan disebut egalitarianisme. Semangat egalitarianisme dalam Islam ditegaskan dalam Al-Qur'an bahwa seluruh manusia berhak memperoleh perlakuan yang sama baik laki-laki maupun perempuan, tanpa melihat latar belakang sosial, pangkat, jabatan, keturunan, ras, golongan, dan harta.
Penciptaan manusia dari laki-laki dan perempuan yang satu meyakinkan bahwa persamaan dalam perbedaan dari berbagai macam suku, bangsa, agama, ras, dan warna kulit membawa pesan agar manusia saling mengenal antara satu dengan lainnya tanpa adanya sikap diskriminatif.
Orang sering mengatakan bahwa Islam adalah agama egalitarian, agama yang menekankan persamaan. Kita tidak boleh membedakan antara seseorang dengan orang lain karena kekayaannya, keturunannya, jabatannya, atau asal-usulnya.
Dalam hal ilmu kita boleh membedakan orang. Bahkan Allah dalam Al-Qur'an berulang kali membedakan. Misalnya “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar/39: 9). “Apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat?” (QS. Al-An’am/6 : 50). “Apakah sama antara kegelapan dengan cahaya?” (QS. Al-Ra’d/13: 16). Pertanyaan dalam ayat itu adalah pertanyaan retoris; artinya jawabannya sudah pasti, yakni tidak sama.
Apakah benar Islam membolehkan kita membedakan seseorang dengan orang lain karena ilmunya?. Pada uraian penjelasan di atas Al-Qur'an telah menunjukkan tentang perbedaan itu, kini kita tampilkan beberapa pesan Nabi berupa hadis yang menyatakan: “Dua rakaat salat orang berilmu adalah lebih baik daripada seribu rakaat salat orang yang tidak berilmu”.
Demikian pula dengan pesan Nabi yang lain: “Tidurnya orang yang berilmu lebih baik daripada ibadahnya orang yang tidak berilmu”. Jadi sekiranya orang yang berilmu itu pada waktu tengah malam lelap tertidur, sementara orang yang tidak berilmu bangun melakukan salat, maka tidurnya orang yang berilmu masih lebih baik daripada tidurnya ibadahnya orang yang tidak berilmu.
Mungkin di antara kita ada yang berusaha mencari jawaban bahwa hadis Nabi tersebut adalah da’if atau lemah, sehingga puas dengan ketidaktahuannya. Dengan alasan bahwa tidak adil rasanya keistimewaan yang diberikan kepada orang yang berilmu, sampai-sampai tidurnya saja menandingi ibadah orang yang tidak berilmu.
Agar tidak salah dalam menyikapi hal ini, patut untuk memperhatikan pesan Ali Karramallahu wajhah bahwa ada dua kelompok yang membuat punggungku patah. Pertama, orang bodoh yang puas dengan kebodohannya; dan kedua, orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya.
Jika dikaji lebih lanjut, di sinilah keadilan Ilahi. Karena orang yang berilmu akan dilipat gandakan siksanya ketika melakukan dosa karena dia mengetahui bahwa itu adalah dosa. Sedangkan orang yang tidak berilmu dimaafkan ketika melakukan kesalahan karena ketidaktahuannya.
Hadis tersebut harus dipahami bahwa betapa berharganya ilmu; bahkan usaha untuk mencari ilmu jauh lebih dihargai daripada berzikir. Jika dibandingkan dengan berzikir, mencari ilmu lebih utama. Seperti yang telah dilakukan Rasulullah ketika masuk ke suatu majelis.
Di majelis itu, tampak ada dua kelompok. Pertama, yang sedang berzikir dan yang ke dua sedang mempelajari ilmu. Rasulullah berpesan: “ Kelompok pertama adalah kelompok yang baik, mudah-mudahan Allah mengampuni mereka.
Sedang kelompok kedua yang sedang mempelajari ilmu; mudah-mudahan Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus”. Jadi sekiranya orang yang salat tahajud yang tidak tidur satu saat pun, pahalanya kalah besar daripada orang yang mempelajari satu bab ilmu. Yang paling ideal adalah, orang yang paling banyak berzikir, sekaligus banyak mempelajari ilmu. Wallahu a’lam bis-sawab. (*)