Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Viral sebuah video di media sosial dan grup WA yang diduga terjadi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Video tersebut memperlihatkan tim sukses caleg yang meminta kembali uang serangan fajar akibat sang penerima serangan fajar dianggap tidak mencoblos caleg yang disepakati untuk dicoblos.
Tentu saja tontonan tersebut adalah gambaran atau potret dari perilaku Sang Caleg dan masyarakat yang sudah menganggap biasa pemberian dari sang caleg dengan iming-iming akan dicoblos.
Serangan fajar adalah sebuah perbuatan menjelang fajar yang dilakukan tim sukses dengan memberikan materi berupa sembako, pernak pernik, dan barang lainnya serta uang. Yang banyak terjadi dalam masyarakat serangan fajar berupa pembagian voucher pulsa, voucher bahan bakar minyak dan kupon sembako yang dapat dipertukarkan kapan saja.
Serangan fajar politik identik dengan perilaku korupsi yaitu money politics atau politik uang. Serangan fajar menurut laman Pusat Edukasi Antikorupsi adalah frasa yang datang dari kalangan militer. Yang berarti tentara menyergap dan menguasai daerah yang ditargetkan. Dan dilakukan secara mendadak sehingga tingkat keberhasilannya tinggi.
Pelanggaran politik uang adalah sebuah perbuatan pidana. Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan “setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana penjara paling lama tiga tahun dengan denda paling banyak Rp 36 juta”. Demikian pula pada pasal 523 UU Pemilu.
Demikian pula pada Pasal 280 Ayat (1) UU pemilu yang apabila dilanggar dan terbukti sebagai sebuah tindak pidana, maka yang bersangkutan (caleg) dapat dibatalkan keterpilihannya.
Maka yang paling dikhawatirkan kelak adalah caleg terpilih akan sibuk mencari materi sebagai pengganti biaya yang telah dibayarkan pada pemilih, keterpilihan caleg bukan atas kompetensi, tapi kemampuannya dalam “membeli pemilih”.
Organisasi masyarakat sipil seharusnya bersama partai politik harus lebih giat melakukan pendidikan politik terutama terhadap dampak politik uang yang mengancam masa depan demokrasi kita.
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Olehnya itu, suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi slogan itu tidak lagi bermakna jika suara kita sangat ditentukan oleh materi berupa uang yang kita terima dari caleg. Pilihan politik bukan lagi didasarkan pada kemampuan caleg, tapi seberapa banyak uang yang diberikan.
Kita berharap Bawaslu sesegera mungkin melakukan investigasi terkait pemberitaan yang lagi viral tersebut. Agar kelak para caleg dan tim sukses tidak leluasa melakukan politik uang. Yang tak kalah pentingnya perlu dibuat efek jera bagi para pelaku, tim sukses dan masyarakat selaku penerima. (*)