Peresmian Pelabuhan MNP, Solidaritas Perempuan Sebut Bentuk Pengabaian Negara Terhadap Pemulihan Hak Perempuan dan Nelayan Tradisional

  • Bagikan
Aksi protes terhadap peresemian pelabuhan Makassar New Port (MNP) oleh Presiden Jokowi di depan Gardu Induk PLN Tallo

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejumlah perempuan nelayan melakukan aksi protes terhadap peresemian pelabuhan Makassar New Port (MNP) oleh Presiden Jokowi di depan Gardu Induk PLN Tallo. Penolakan terhadap pembangunan Pelabuhan MNP dilakukan sejak tahap pembangunan pertama pada tahun 2017 oleh perempuan pesisir bersama nelayan tradisional di Kelurahan Cambaya, Buloa, Tallo.

Aksi protes tersebut dikarenakan aktivitas pembangunan telah menghilangkan mata pencaharian nelayan, sumber pangan perempuan, pencemaran lingkungan, lumpur dampak dari transportasi alat-alat berat, sampah hingga limbah minyak, melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketimpangan gender.

Sejumlah perempuan nelayan yang melakukan aksi terhadap penolakan peresmian Pelabuhan Makassar New Port, mendapatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan mengambil secara paksa sejumlah poster yang dibentangkan oleh perempuan. Situasi ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang.

Sampai hari ini ada 150 perempuan nelayan masih terus berjuang mempertahankan ruang kelolanya di pesisir yang terdampak proyek MNP. Pelanggaran hak perempuan telah diadukan kepada KOMNAS HAM dan KOMNAS Perempuan Republik Indonesia, namun belum ada titik terang penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak
perusahaan.

Berbagai upaya telah ditempuh perempuan pesisir dan nelayan tradisional dalam mencari keadilan atas ruang hidup mereka di pesisir, bertemu dengan pihak perusahaan (Pelindo), berdialog dengan pemerintah Gubernur Sulsel, Pemerintah Kota Makassar, Komisi E, Komisi B, Komisi C, Sekretaris DPRD Provinsi Sulsel.

Dalam berbagai ruang dialog perempuan pesisir dan nelayan tradisional menyampaikan tuntutannya yakni mendesak pemerintah dan perusahaan memulihkan hak ekonomi dan pemulihan hak atas lingkungan. Bahkan RDP yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2023, pemerintah DPRD dan
Perusahaan PT. Pelindo IV bersepakat untuk bersama-sama ke Jakarta bertemu dengan PT Pelabuhan Indonesia membicarakan persoalan ini, namun lagi-lagi Komisi B beserta
pihak perusahaan mengabaikan hasil kesepakatan tersebut. Komisi B bertemu dengan
PT Pelabuhan Indonesia di Jakarta tanpa melibatkan perwakilan perempuan dan nelayan tradisional.

Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan atas hasil RDP dan ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan perempuan. Aktivitas reklamasi Pembangunan Pelabuhan MNP berdampak pada hilangnya pekerjaan perempuan pencari kerang, kanjappang dan mengurangi pendapatan nelayan tradisional.

Perempuan harus bekerja dan berpikir ekstra untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap
sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan.

Akibatnya perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi, tidak diakui identitas sebagai
nelayan meski secara turun temurun memanfaatkan pesisir sebagai ruang kelola. Perempuan nelayan tidak menerima program pemberdayaan, kartu asuransi nelayan sementara mereka beraktivitas di laut sama seperti nelayan laki-laki.

Skema Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai Upaya Sentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 juga merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Rentetan persoalan agraria dan lingkungan hidup timbul akibat PSN sehingga berdampak buruk pada kehidupan rakyat, salah satunya Proyek Pelabuhan Makassar Newport (MNP) yang telah memiskinkan perempuan pesisir dan nelayan tradisional di pesisir Makassar.

“Peresmian pelabuhan MNP oleh Presiden Joko Widodo, bentuk nyata pengabaian negara
terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan pesisir dan nelayan tradisional. Aksi penolakan dan protes yang disuarakan oleh perempuan pesisir merupakan bentuk kekecawaan dan kemarahan perempuan nelayan yang selama ini memperjuangkan hak atas ruang lautnya. Kami mengecam segala bentuk intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan dalih apapun. Menyampaikan pendapat di depan umum adalah hak setiap warga negara, termasuk perempuan nelayan” kata Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri. (*)

  • Bagikan