JAKARTA, RAKYATSULSEL - Penumpukan cairan di balik gendang telinga bisa menyebabkan telinga berdengung.
Hal itu diungkapkan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia, Jakarta Raya dr. Ayu Astria Sriyana, SpTHTBKL, Subsp.oto(K).
Selain itu, kata Ayu dalam seminar daring penanggulangan gangguan indera oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Rabu, bisa berasal dari ujung syaraf pendengaran di koklea yakni bagian telinga yang memiliki bentuk melingkar seperti rumah siput.
Demi memastikan alasan telinga berdengung, dia menyarankan pasien segera memeriksakan diri ke dokter telinga hidung tenggorokan (THT) demi memastikan penyebabnya akibat penumpukan cairan di balik gendang telinga atau lainnya.
"Keluhan telinga seperti berdengung mengindikasikan adanya suatu gangguan pendengaran dan harus dievaluasi melalui pemeriksaan," kata dia, dikutip dari ANTARA, Rabu, (7/2/2024).
Terkait gangguan telinga khususnya di bagian telinga luar, Ayu berpendapat bahwa salah satu yang tersering yakni ototitis eksterna, yaitu infeksi akut maupun kronis disebabkan bakteri, jamur, maupun virus.
Kondisi ini paling sering ditandai gejala antara lain gangguan pendengaran, telinga terasa tertutup, rasa penuh pada telinga, nyeri dan kadang disertai keluarnya cairan.
"Penyebabnya berbagai macam hal seperti perubahan pH, trauma lokal misalnya mengorek itu paling sering terjadi. Jadi, memang kita harus mengedukasi pasien supaya tidak boleh mengorek, lalu berbagai patogen yang invasif," jelas dia.
Bisa bervariasi
Sementara itu, Kepala Seksi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan DKI Jakarta Arif Syaiful Haq menyebutkan, penyakit indera baik itu telinga maupun mata dari sisi jumlah bisa bervariasi karena informasi terkait masalah kesehatan selalu mengalami perkembangan.
Oleh karena itu, katanya, para tenaga kesehatan di wilayah terutama yang bersinggungan langsung dengan pasien perlu melakukan pembaruan terkait masalah kesehatan di wilayahnya termasuk terkait gangguan pendengaran.
Nantinya, imbuh Arif, apabila para tenaga kesehatan melihat dan menemukan kasus-kasus di masyarakat, mereka harus mampu mendeteksi, mampu melakukan tatalaksana dan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat yang lebih luas.
"Sehingga hal-hal yang sifatnya pencegahan itu bisa lebih kita maksimalkan. Jadi, kita bisa minimalkan angka kesakitan," katanya.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, prevalensi global gangguan pendengaran tingkat sedang hingga berat meningkat 12,7 persen pada usia 60 tahun dan menjadi lebih dari 58 persen pada usia 90 tahun. (fjr/raksul)