MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Partisipasi Pemilih mengalami penurunan dalam pemungutan suara uilang (PSU) pada 64 tempat pemungutan suara yang tersebar di 19 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan.
“Partisipasi Pemilih mengalami penurun tapi tidak terlalu signifikan,” kata komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad kepada Harian Rakyat Sulsel, Minggu (25/2/2024).
Saiful emdnuga penyebab menurunnya partisipasi pemilih karena masyakrat memiliki pekerjaan lain sehingga tidak menyempatkan diri datang lagi ke TPS. “Mungkin ada pekerjaan lain jadi tidak datang memilih,” ujar dia.
Jika terjadi pelanggaran dan berpotensi PSU lagi. Saiful menyebutkan PSU hanya dilakukan satu kali saja dan dia pastikan tak ada lagi pemilih siluman yang muncul karena pihaknya melakukan pengawasan melekat.
“PSU hanya satu kali dan kami sudah meminta kepada seluruh KPPS agar teliti teliti supaya tidak terjadi pelanggaran lagi,” imbuh dia.
Komisioner KPU Kota Makassar, Abdi Goncing mengakui PSU di 10 TPS mengalami penurunan pemilih dibandingkan Pemilu 14 Februari 2024 kemarin. “Ada penurunan sekitar 20 sampai 30 persen setiap TPS,” kata dia.
Namun dari 4.004 TPS di Makassar ditambah TPS khusus tidak mempengaruhi secara signifikan. “Kalau penurunan secara keseluruhan TPS yang ada tidak terlalu banyak. Kalau terjadi penurunan hanya sekitar 1 persen saja,” ujar Goncing.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak menjalankan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu Umum (Bawaslu) setelah merekomendasikan kembali Pemungutan Suara Ulang (PSU).
“Iya (rekomendasikan PSU) 1 TPS pulau terjauh di Selayar,” kata Komisioner Bawaslu Sulsel, Alamsyah.
Namun, kata dia, KPU tak bisa dijalankan karena alasan satu TPS tersebut berada di pulau terjauh. “Karena alasan waktu, geografis, jarak tempuh, cuaca dan kesiapan KPU.
“Yang berbatasan langsung dengan Surabaya. Jarak tempuh enam hari pergi pulang dengan naik kapal laut,” ujar dia.
Mantan ketua KPU Pinrang ini menyebutkan rekomendasi tersebut dikeluarkan satu hari sebelum batas waktu pelaksanaan 10 hari setelah Pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
“Batas akhir pelaksanaan PSU pemungutan berdasarkan pasal 373 ayat 3 adalah 10 hari setelah hari pemungutan suara. Hadi terakhir tanggal 24 februari 2024 kemarin, ini dikarenakan terlambatnya laporan (Panwascam),” imbuh dia.
Adapun anggota KPU RI, Muhammad Afifuddin menyatakan keprihatinan atas puluhan PSU di Sulawesi Selatan. Afifuddin memantau pelaksanaan PSU di TPS 020 Kelurahan Buakana, Kota Makassar, Sabtu lalu.
Afifuddin menyatakan keprihatinannya atas fakta bahwa Sulawesi Selatan menempati urutan kedua dalam jumlah PSU di Indonesia.
"Itulah sebabnya kami turun langsung untuk memantau dan mengetahui secara langsung pelaksanaannya," kata dia.
Dia menyampaikan permohonan maaf atas nama penyelenggara daerah jika terdapat kekurangan atau kesalahan pada tanggal 14 Februari yang lalu. "Saya berharap 64 TPS di Sulawesi Selatan berjalan lancar dan tanpa pelanggaran," imbuh Afifuddin.
Anggota KPU Sulsel Marzuki Kadir, menjelaskan bahwa ada 64 TPS di Sulsel yang menggelar PSU.
"KPU Sulawesi Selatan telah menyiapkan logistik untuk PSU di setiap TPS yang akan dilaksanakan 10 hari setelah pemungutan suara. Sejumlah TPS ini direkomendasikan oleh Bawaslu," ujar dia.
Marzuki juga mengakui bahwa pihaknya telah menyiapkan logistik yang diperlukan di TPS yang akan melakukan PSU sesuai dengan kebutuhan.
"Setiap TPS memiliki jenis pemilihan yang berbeda-beda, baik hanya presiden, DPD, atau kombinasi Pilpres, Pileg, dan DPD," jelasnya.
Legislator Baru Sulsel
Sejumlah wajah baru akan menghiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan. Dari data sementara RC, tercatat perebutan kursi DPRD Sulsel, dari 85 caleg di 2024, banyak wajah baru. Maklum saja, sebagian besar petahana tidak terpilih atau kalah saing dengan sejumlah figur waja baru di dapil masing-masing.
Sesuai real count KPU dari 85 nama yang berpotensi duduk di DPRD Sulsel, terdapat 56 orang wajah baru. Sisanya 25 wajah lama masih bertahan.
Pakar politik dari Universitas Bosowa Makassar, Arif Wicaksono berpendapat bahwa dalam konstelasi perebutan kursi ada peluang dan tantangan. Para pemilih melihat rekam jejak.
"Sehingga tak memandang figur baru atau lama. Apa sebenarnya yang terjadi sekarang adalah seleksi alam dalam kekuasaan. Dalam referensi keseharian sebagai sirkulasi elit," ujar dia.
Menurut dia, hasil Pileg 2024 saat ini nampaknya sedang berjalan dengan kemungkinan besar, tidak lagi mempertahankan orang-orang atau figur-figur yang sama.
"Dan ini sangat bergantung kepada kemampuan figur lama dalam mempertahankan kekuasaannya. Juga gembira bagi pendatang baru," tutur dia.
Direktur Politician Academy, Bonggas Chandra berpandangan bahwa, berkaca dari pemilu sebelumnya jika melihat peluang caleg petahana di semua tingkatan rawan.
"Saya pikir peluang hampir sama, karena memang peluang dari caleg baru besar. Karena petahana rawan untuk diserang, meskipun punya modal yang cukup," kata dia.
Menurut Chandra, peluang keterpilihan figur baru terbuka lebar pada Pileg 2024. Apalagi tren petahana terpilih kembali cukup rendah, jika berkaca pesta demokrasi sebelumnya. Kondisi itu, kata dia, bisa dilihat di dua kali Pileg DPRD Sulsel terakhir. Di mana Pileg 2014 dari 85 petahana hanya 28 orang yang terpilih kembali atau cuma 32,9 persen saja.
"Kemudian Pileg 2019 meskipun persentasenya naik, tetapi angkanya masih kecil, yakni hanya 33 petahana kembali terpilih dari 85 orang," imbuh Bonggas.
Bonggas membocorkan data tersebut menyatakan persentase ini merupakan terkecil jika dibandingkan provinsi lain di Sulsel.
"Nah di sini di bawah 50 persen, ada apa? Menarik diteliti. Kemungkinan petahana di Sulawesi Selatan tingkat Provinsi terpilih kembali kembali," tutur dia.
Dia menilai ini terjadi karena beberapa hal. Antaranya, ketidakmampuan petahana menjaga konstituennya. Serta, mereka tidak bisa menunaikan janji politiknya.
"Artinya petahana sebagai kandidat itu tidak terlalu kuat. Sehingga menjadi harapan besar bagi para penantang baru," imbuh Bonggas.
Padahal, kata dia, bila melihat petahana sebetulnya mereka ini orang orang yang mempunyai keunggulan jauh lebih dibandingkan penantang baru, karena sudah punya basis massa, kedua mendapatkan gaji dan fasilitas negara. Ketiga, mereka mempunyai dana aspirasi dan program yang bisa diberikan ke konstituen dan sorotan media dan publik, sehingga tidak perlu cari cari lagi.
"Sejumlah keuntungan tersebut ternyata petahana tidak mampu mempertahankan posisinya," jelasnya lagi. (fahrullah-suryadi/C)