Ulama Perempuan NU Raih Gelar Doktor Ushul Fikih di Al-Azhar Kairo dengan Predikat Summa Cumlaude

  • Bagikan
Hj. Iffatul Umniati Ismail, Lc. MA

Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Ketua IV PCINU Mesir ini menegaskan juga: harus dibedakan antara “kebutuhan” dan “keadaan darurat” dengan merujuk kepada pandangan para ulama klasik.

Ketika sebuah tindakan medis dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diposisikan sebagai sebuah keadaan darurat, maka sebuah fatwa hanya berlaku sampai aspek kedaruratannya bisa diselesaikan. Jangan gampang-gampang pula menyatakan bahwa sebuah kebutuhan bisa mengabsahkan perubahan hukum dari haram menjadi boleh, tanpa pertimbangan yang lebih matang dan komprehensif.

Ulama perempuan yang aktif di beberapa jaringan aktivis advokasi perempuan termasuk sebagai narasumber perempuan yang duduk sejajar dengan para ulama besar dunia dalam seminar internasional memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama Tahun 2023 lalu ini melihat, bahwasanya realitas kebutuhan di masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih mendetail dalam beberapa aspek yang terkait dengan hukum yang difatwakan.

Dengan demikian, sebuah fatwa hukum sebaiknya tidak sekedar berbicara tentang halal, haram, atau boleh dan tidak boleh saja. Sekedar menyebutkan contoh: hukum tidak bolehnya salat menggunakan bahasa lokal seharusnya disertai juga penjelasan apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim atau muslimah ketika menyadari bahwa salat imamnya batal, atau bahwa salatnya selama ini ternyata tidak sah.

Sidang Disertasi ini dihadiri Plt. Atase Pendidikan/Koord. Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Kairo, Dr. Rahmat Aming Lasim, Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, M. Arif Ramadhan dan juga dihadiri sekitar 200 aktifis, peneliti dan pelajar mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Universitas Al Azhar Kairo. (***)

  • Bagikan