RAKYATSULSEL - Perjalanan transisi energi di Indonesia dinilai belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Meskipun ada komitmen untuk menuju energi bersih dan berkelanjutan, kenyataannya terdapat banyak kelemahan dalam implementasi.
Proyek-proyek seperti Hutan Tanaman Energi (HTE) di Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi sumber kontroversi. Banyak pihak mengkritisi, proses penerbitan izin tidak memenuhi prinsip-prinsip konsultasi dan persetujuan bersama atau Free Prior Inform Concern (FPIC)/Padiatapa, serta pengukuran dampak yang serius terhadap ekosistem dan masyarakat adat dan lokal.
Demikian salah satu kesimpulan yang mengemuka dari diskusi Forest Watch Indonesia (FWI) bersama Green of Borneo, di Kaltara, pekan lalu. Proses penerbitan izin HTE di RAKYATSULSEL - Kaltara yang tidak menerapkan prinsip Padiatapa (Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan), menjadi pertanyaan.
Darwis dari Green of Borneo menuturkan, seharusnya Padiatapa menjadi standar minimal dalam penerbitan izin. Hal ini mengingat Kaltara merupakan wilayah yang kaya akan keragaman sumber daya masyarakat adat, yang lebih awal hidup dan bergantung terhadap sumber daya hutan.
"Untuk mengatasi ancaman yang ada dari pembangunan HTE di Kaltara, perlu adanya langkah-langkah konkret mengawasi pembangunan HTE mulai dari penerbitan izinnya," kata Darwis.
Ketua Lembaga Green of Borneo, Nelwan Krisna Wardhany menambahkan, munculnya izin baru untuk HTE ini membawa risiko serius terhadap wilayah Kaltara. Wilayah Sebuku sudah terbebani izin. Sementara di sisi lain, usulan pemanfaatan hutan untuk masyarakat masih menghadapi kendala, terutama lantaran belum disahkannya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
"Tidak hanya itu, perlu diwaspadai juga potensi eksploitasi di wilayah Kaltara yang dijuluki Heart of Borneo, khususnya di Malinau. Malinau, Kaltara masih terkendala akses yang sulit sehingga pembangunan HTE dipertanyakan keseriusannya. Jangan sampai hanya motif untuk mengeksploitasi hutan alam Kaltara saja," tambah Nelwan.
Sementara itu, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga menilai, transisi energi dengan pembangunan HTE justru menjadi driver deforestasi. Saat ini, setidaknya ada 31 perusahaan HTE dan 1 BUMN yakni Perum Perhutani di Jawa yang berkomitmen menyuplai kebutuhan biomassa kayu untuk co-firing di 52 PLTU.
Dalam dokumen RUPTL, dibutuhkan minimal 8 juta ton biomassa kayu per tahun untuk menggantikan 5 sampai 10 persen batu bara. Menurut Anggi, pembangunan HTE yang didominansi korporasi kehutanan cenderung memiliki motif penguasaan hutan dan lahan semata.
"Perusahaan HTE hanya ingin memanen kayu yang berasal dari hutan alam dan tidak serius melakukan penanaman tanaman energi. Ini bukan soal upaya pengurangan emisi, melainkan eksploitasi alam yang berkedok energi bersih di tengah stagnasi bisnis kayu bulat kehutanan Indonesia," kata Anggi dalam keterangannya kepada JawaPos.com, Kamis (29/2).
Pengkampanye Hutan FWI Agung Ady Setyawan menerangkan, ada satu perusahaan di Kaltara yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu. Sayangnya, perusahaan ini dibebankan di atas hutan alam Kaltara tanpa adanya prinsip keterbukaan informasi dalam proses penerbitan izinnya.
Perusahaan yang berinisial MHL ini juga tidak diketahui jenis perizinannya karena bergerak di bidang kehutanan, namun dibebankan di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL). Seharusnya, lanjut Agung, transparansi perizinan dibuka selebar-lebarnya agar publik dapat memastikan prinsip tata kelola dijalankan dengan baik.
"MHL yang statusnya di APL tengah mengusahakan proyek HTE di Kabupaten Malinau di Kaltara. Kabupaten Malinau memang saat ini menjadi target investasi dan sebagai daerah penyuplai biomassa kayu di Kaltara. MHL merupakan anak perusahaan PT Mitrabara Adiperdana Tbk, perusahaan konsesi batu bara di Malinau, yang kini merambah ke usaha komoditas kayu," jelas Agung. (jp/raksul)