Oleh : Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Selalu ada cara dalam peristiwa politik; benar-salah, menang-kalah. Dan, siapa pun tentu tidak luput dari kesalahan. Tetapi, kesalahan demi kesalahan di dalam politik memiliki potensi memberi petaka.
Apalagi, jika rentetan kesalahan itu dilakukan di masa krusial saat menjelang Pemilu. Jokowi, misalnya, saat ini disebut-sebut tengah melakukan blunder yang cukup fatal sejak menjadi kandidat presiden 2019 yang lalu.
Banyak yang mengganggap munculnya massa dan keterlibatan aparat dalam penolakan gerakan tersebut adalah kampanye terburuk bagi Jokowi. Posisi itu disematkan kepadanya karena sebagai pemimpin di negara ini, akses kekuasaan terhadap aparat penegak hukum adalah keuntungan politik yang dimilikinya. Sekalipun di Pilpres 2019 yang lalu blunder itu justru membangun kepercayaan publik terhadap kelompok oposisi yang dipenggawai Prabowo Subianto.
“Kampanye” negatif tersebut seperti melengkapi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sang petahana. Jokowi sebelumnnya sudah menjadi bulan-bulanan kelompok-kelompok pro toleransi dan pluralisme saat mengumumkan nama Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya di Pilpres 2019 Jokowi juga seperti tengah menyandera diri sendiri dengan tidak ditetapkannya gempa Lombok sebagai bencana nasional.
Keengganan pemerintah untuk menetapkan status tersebut membuat mereka begitu disorot dan dianggap tidak peka terhadap penderitaan masyarakat di sana.
Kinerja Kabinet Kerja juga saat itu tercemar. Menteri Sosial Idrus Marham dari Partai Golkar menjadi menteri pertama Jokowi yang jadi tersangka KPK. Padahal, selama ini Kabinet Kerja sudah bekerja keras untuk menjaga citra bersih. Banyak yang menyebut bahwa rangkaian kesalahan tersebut sama sekali tidak menggambarkan gaya berpolitik Jokowi. Mereka menganggap berbagai kekeliruan dalam melangkah tersebut amat terkait dengan pengaruh elite-elite partai politik di lingkar koalisi Jokowi.
Jika benar langkah-langkah blunder Jokowi ini karena ulah-ulah elite partainya, maka kondisi ini sejalan dengan pernyataan David J. Samuels dan Matthew S. Shugart. Samuels dan Shugart menyebutkan bahwa partai politik akan berusaha untuk mengendalikan kandidat mereka. Dan itu pernah terjadi di tahun 50-an di negara Spanyol walau pada akhirnya gagal.
Upaya pengendalian oleh partai ini boleh jadi menguntungkan mereka, tetapi langkah tersebut memberi kerugian besar bagi Jokowi. Hasrat berlebih partai ini membuat Jokowi tampak secara perlahan kehilangan keuntungannya sebagai kandidat petahana. Kecerobohan-kecerobohan Jokowi dalam politiknya menuai kontra baik di koalisinya maupun di kubu oposisi.
Politics Suicide (Politik Bunuh Diri)
Blunder demi blunder ini jelas merugikan bagi petahana. Kubu oposisi yang digawangi oleh Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno seperti tidak harus bekerja keras untuk menyerang Jokowi. Sang presiden seolah sudah terlebih dahulu menyerang dirinya sendiri, sehingga terlihat sangat rapuh.
Padahal, selama ini Jokowi dianggap sebagai petahana dengan posisi yang cukup solid. Namanya kerapkali berada di urutan teratas survei elektabilitas. Tidak hanya itu, survei-survei itu juga menyebut bahwa mayoritas masyarakat puas akan kepemimpinannya. Meski begitu, keunggulan ini dirusak oleh kecerobohan kubunya sendiri.
Rentetan kesalahan tersebut seperti sebuah bunuh diri politik bagi Jokowi. Bunuh diri politik yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah bunuh diri dengan sebutir peluru atau segelas racun. Bunuh diri politik ini juga bukan meledakkan diri ala kelompok teroris yang memiliki intensi politik.
Political suicide atau bunuh diri politik dalam konteks ini adalah sebuah konsep di mana seorang politisi atau partai politik yang kehilangan dukungan dari publik dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan dirinya atau posisinya sebagai status quo. Istilah seperti ini digunakan misalnya oleh Harry J. Kazianis saat menggambarkan kebijakan Donald Trump.
Langkah bunuh diri politik ini dapat menjadi semacam kutukan bagi Jokowi. Dalam konteks ini, alih-alih ia berhasil memanfaatkan keuntungannya sebagai presiden, ia justru kehilangan keuntungannya tersebut karena kesalahannya sendiri.
Secara konsep, kehilangan keuntungan sebagai penguasa ini bisa disebut sebagai anti-incumbency. Istilah ini banyak digunakan di India untuk menggambarkan kesulitan kandidat-kandidat petahana untuk mengejar masa jabatan kedua. Istilah ini disebutkan misalnya oleh Nirmala Ravishankar. Ravishankar menyebutkan bahwa orang yang berkuasa memiliki kesulitan tersendiri. Tetapi Jokowi mampu meraih dan menyingkirkan kesulitan-kesulitan itu dengan cara menjalankan blusukan dan pencitraan.
Memang, tren anti-incumbency tidak pernah terjadi untuk kursi eksekutif tertinggi di Indonesia. Meski demikian, tren petahana yang gagal terpilih untuk kedua kalinya banyak terjadi di negara berkembang. Fenomena ini ditangkap misalnya oleh Alexander Lee dari University of Rochester. Politik demikian dinamis, seperti bermain dadu, sulit menebak angka berapa yang jadi pemenang.
Sebagai negara berkembang, bukan tidak mungkin tren tersebut akan tiba di Indonesia. Apalagi, Jokowi dan elite-elite di sekelilingnya melakukan banyak kesalahan setara bunuh diri politik, sehingga mereka seperti membangun sendiri anti-incumbency-nya.
Kegagalan untuk memanfaatkan keunggulan sebagai petahana ini pernah terjadi di negara tetangga, Malaysia. Pada Pemilu Malaysia 2018, Najib Razak dan Barisan Nasional (BN) disebut-sebut masih menjadi kandidat favorit utama. Apalagi, saat itu koalisi yang dipimpin Najib ini hanya membutuhkan minimal 16,5 persen dari popular vote untuk dapat kembali berkuasa Keuntungan Najib sebagai orang berkuasa sebenarnya cukup mewah. Bagaimana tidak, koalisi yang dipimpinnya sudah berkuasa dan tak terkalahkan di Malaysia sejak tahun 1975. Hal ini membuat BN dan Najib di atas kertas seharusnya sulit untuk dikalahkan.
Meski memiliki keuntungan, nyatanya Najib harus tersingkir dari kursi Perdana Menteri Malaysia. Dalam Pemilu yang disebut-sebut mengejutkan, Mahathir Mohamad dan Pakatan Harapan berhasil mencongkelnya dari kekuasaan tertinggi negeri jiran. Kegagalan Najib ini disebut-sebut akibat kesalahannya sendiri, terutama dalam kasus 1 Malaysia Development Berhad (1MDB).
Najib seperti menggali sendiri kuburannya sendiri dengan melakukan mega skandal tersebut. Kursi kabinet yang telah ia rengkuh dengan nyaman sejak tahun 2009 harus kandas karena kesalahannya sendiri. Kleptokrasi menjadi mimpi buruk bagi kepemimpinan Najib. Terlihat bahwa keuntungannya sebagai petahana sejak tahun 2009 tidak mampu ia manfaatkan dengan baik. Kini, alih-alih berkuasa untuk periode ketiga, ia harus terusir dari kursi kesayangannya dan bahkan dihantui oleh kasus hukum.
Saat ini, Jokowi memang tidak melakukan mega skandal kleptokrasi serupa dengan Najib. Akan tetapi, berbagai kecerobohannya bisa saja terus menggelending, membesar, dan menjadi bola api yang akan membakar dirinya sendiri, yang bisa menyulitkan drinya serupa dengan kasus yang menimpa Najib.
Sebagai presiden, idealnya Jokowi bisa meredam kecerobohannya yang belakangan terjadi terus-menerus. Apalagi, jika kesalahan ini benar-benar dipengaruhi oleh elite-elite politik di sekelilingnya. Kecerobohannya yang paling fatal dan menimbulkan polemik ketika puteranya lolos menjadi cawapres untuk mendapingi Prabowo di Pilpres 2024.
Sebuah diskusi di meja makan ; Jokowi bertanya kepada Prabowo, siapa kira-kira yang akan menjaga keluargaku setelah saya tidak lagi jadi presiden. Prabowo menangkap substansi pertanyaan itu. lalu tanpa menunggu lama Prabowo pun menemui Gibran (Walikota Solo) di Solo dan Bobby Nasution di Medan (menantu Jokowi, sekaligus Walikota Medan). Langkah politik Prabowo pun praktis mengikat Jokowi, dan begitu pula sebaliknya. Politik simbiosis-mutualisme pun terjadi.
Hingga menjelang perhelatan Pemilu 2024, Jokowi pun tidak tinggal diam. Cawe-cawe, keberpihakan secara vulgar, politisasi bansos, bahkan terindikasi adanya pengerahan aparat. Semua itu di sorot bukan hanya media dalam negeri tetapi juga media asing.
Namun sepertinya Jokowi tidak mau tahu, dan menganggap hal yang biasa. Tampilnya Jokowi memberi klarifikasi terhadap surat suara yang sudah tercoblos di luar negeri dengan asumsi kantor pos yang tutup, memberi indikasi kalau Jokowi semakin “mencederai dirinya” sebagai kepala negara.
Hingga pada akhirnya politik “saling sandera” pun terjadi. Apakah Jokowi menyandera beberapa ketua partai yang bergabung di dalam koalisi Prabowo Gibran?, ataukah koalisi partai-partai justru menyandera Jokowi dengan kasus-kasus yang ada di menteri-menteri kabinetnya.
Dan titik krusialnya adalah ketika pemilu 2024 di tandai berbagai kecurangan, dan publik meminta agar Jokowi harus bertanggungjawab atas semua kekacauan-kekacauan pemilu. Termasuk dorongan untuk Hak Angket DPR untuk menelusuri kecurangan yang terjadi, siapa dibalik itu semua. Wacana pemakzulan pun terus digulirkan sebagai bagian dari pressure politik.
Jokowi seperti mengabaikan kalimat dari Paul Krugman “Politik menentukan siapa yang berkuasa bukan siapa yang memiliki kebenaran”. (*)