MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan sebelas kepala daerah (kada) yang mempersoalkan mengenai masa jabatan berakhir tahun ini. MK menyatakan jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 berakhir tahun 2024 sepanjang tidak melewati lima tahun masa jabatan. Putusan tersebut sekaligus menolak permintaan agar pemilihan kepala daerah hasil Pilkada 2020 digeser ke tahun 2025 untuk menggenapkan lima tahun masa jabatan.
Pemohon dalam perkara ini ialah Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukit Tinggi Erman Safar.
Mereka adalah kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020. Merujuk UU Pemilu, masa jabatan mereka akan berakhir pada 2024. Sebab, Pilkada Serentak akan digelar pada November 2024. Hanya saja, pada putusan MK mengabulkan sebagian pemohon.
Wali Kota Makassar, Danny Pomanto mengaku gembira atas putusan (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi 13 kepala daerah terkait Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Dalam UU itu, berkaitan juga tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Danny menyampaikan bahwa putusan MK tersebut sangat rasional sehingga tidak menimbulkan polemik atau penafsiran. Dengan begitu, dirinya sebagai bagian dari 13 Kepala daerah yang melayangkan gugatan untuk masa jabatan sesuai SK Kemendagri yakni 5 tahun. Ia merasa tidak ada hal yang dipertentangkan di amar putusan MK tersebut.
"Sebagai bagian dari teman-teman kepala daerah yang mengajukan gugatan, saya merasa puas putusan MK itu," ujar Danny, Kamis (21/3/2024).
Hanya saja, dalam putusannya, MK tidak mengabulkan permintaan 13 kepala daerah yang menginginkan jadwal pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak diatur ulang dan mundur menjadi 2025. Atas pertimbangan itu, MK mengabulkan gugatan sepanjang terkait Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.
Artinya, para kepala daerah hasil Pilkada tahun 2020 bisa terus menjabat sampai kepala daerah pengganti mereka dilantik. (Apabila ada sengketa masa jabatan bisa sesuai SK) Namun, tetap dengan ketentuan masa jabatan mereka tak lebih dari 5 tahun.
Danny mengatakan, putusan MK pada prinsipnya mengabulkan uji materi dari pemohon karena memberikan keleluasaan setelah pilkada serentak 2024.
"Jadi, melihat putusan MK solusi terbaik, kalau secara prinsip itu diterima gugatan kami. Artinya masa jabatan berakhir 2024 usai pilkada. Tapi, disebutkan sampai adanya pelantikan. Nah, kalau ada sengketa dari 508 berpilkada, bisa saja masa jabatan sampai akhir 2025, tergantung Mendagri baru," imbuh Danny.
Sebelumnya dalam petitum gugatan 13 kepala daerah mempermasalahkan masa jabatan yang tidak penuh 5 tahun. Merujuk UU Pemilu, masa jabatan mereka akan berakhir pada 2024. Sebab, Pilkada Serentak akan digelar pada November 2024.
Mereka meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Menurut para pemohon, implementasi pasal tersebut menyebabkan masa jabatan para kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 menjadi tidak utuh lima tahun. Dinilai merugikan hak konstitusional para pemohon sebagai kepala daerah yang memegang masa jabatan selama lima tahun.
MK memutuskan bahwa para kepala daerah hasil Pilkada tahun 2020 bisa terus menjabat sampai kepala daerah pengganti mereka dilantik. Namun, tetap dengan ketentuan masa jabatan mereka tak lebih dari 5 tahun.
Sedangkan, terkait gugatan norma Pasal 201 ayat (8) dan ayat (9) UU 10/2016 ditolak MK. Sebab dinilai tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, kepastian hukum, serta prinsip pemilihan dan prinsip demokrasi yang dijamin dalam UUD 1945.
Sehingga, norma Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjadi menyatakan, 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan.
Bupati Chaidir Syam mengatakan dengan putusan tersebut pastinya ada kekecewaan karena Pilkada berlangsung sebelum masa jabatanya berakhir. Tapi dengan putusan MK tersebut dia legawa.
“Sebenarnya kami kecewa karena masa jabatan kami terpotong dimana masyarakat mengetahui kalau masa jabatan bupati dan walikota selama 5 tahun,” kata Chaidir.
Menurut dia, perencanaan yang telah dibuat untuk pembangunan Maros pastinya tidak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang ditargetkan 5 tahun masa jabatan. Hal itu kata dia bisa berdampak ke masyarakat bumi Turikale.
“Perencanaan pembangunan yang kami lakukan adalah perencanaan pembangunan 5 tahunan sehingga jika terpotong masa jabatan kami setahun atau lebih menimbulkan konsekuensi terhadap perencanaan pembangunan dan pemenuhan janji-janji politik yg telah kami sampaikan ke masyarakat,” imbuh Chaidir.
Ketua PAN Maros ini menyebutkan telah mencermati setelah mencermati putusan tersebut. “Kami berakhir nanti setelah periode selanjutnya dilantik jadi kemungkinan bisa masa jabatan kami 4 tahun atau lebih. Sampai pelantikan periode bupati selanjutnya,” sambung dia.
Adapun, Wakil Bupati Toraja Utara, Frederik Victor Palimbong hanya mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat jadi harus tunduk. “Putusan MK itu mengikat, jadi apapun putusan kami harus terima,” ujar dia.
Ketua DPC Gerindra Toraja Utara menyebutkan saat ini lebih fokus bekerja untuk masyarakat Toraja Utara dan mendampingi Yohanis Bassang disia masa jabatanya saat ini. “Kami tetap harus optimal bekerja sampai pelantikan serentak yang kemungkinan dilakukan di awal tahun 2025,” kata Frederik.
Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah mengatakan tidak diterimanya permohonan gugatan di MK tersebut berarti pilkada akan tetap berlangsung November 2024 nanti. “Dan tidak ada perubahan soal tahapan yang akan digelar secara serentak itu," ujar dia.
Dia mengatakan, memang salah satu argumen mengapa pilkada mesti dilakukan serentak adalah dalam rangka efisiensi, baik dari segi mobilisasi logistik, mobilisasi sumber daya, sosialisasi ke pemilih, dan tentunya anggaran.
“Cuman pilkada serentak juga memiliki beberapa kelemahan, semisal skala konflik bisa cukup besar dan jumlah aparat kita tdk mencukupi untuk mengendalikan hingga ada beberapa kepala daerah yang belum cukup 5 tahun menjabat sehingga janji-janji politik yang pernah disampaikan saat kampanye belum sempat terealisasi,” kata Asratillah.
Namun yang terpenting adalah perlunya upaya memitigasi segala bentuk resiko yang mungkin muncul jika pilkada dilakukan secara serentak. “Dari segi regulasi jangan sampai ada perubahan mendadak di tengah jalan seperti pada saat pilpres kemarin, karena hanya membuat publik curiga,” imbuh dia.
“Begitu pula dengan potensi konflik antar tim atau relawan kandidat yang mungkin saja tersulut, penyelenggara dan aparat mesti melakukan pemetaan rinci atas bentuk kerawanan dan mencari solusi efektif untuk menanganinya. Lalu di sisi lain, pemilih kita mesti diedukasi sejak dini agar berpartisipasi dalam mewujudkan pilkada yang bermartabat,” lanjutnya.
Asratillah juga menyebutkan salah satu isu yang mencuat jelang pilkada ini adalah, akan semakin mahalnya ongkos politik dan semakin banyaknya praktik vote buying. “Mesti ada upaya kolaboratif antara penyelenggara, organisasi masyarakat sipil, dan partai politik untuk menekan praktik jual-beli suara,” bebernya.
Selain itu, isu netralitas birokrasi jelang pilkada juga mengemuka. “Mesti ada tindakan tegas jika ada ASN atau birokrat yang menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan calon kepala daerah tertentu,” ucap dia.
Pakar hukum administrasi tata negara dari Universitas Hasanuddin Profesor Aminuddin Ilmar mengatakan putusan MK sudah sesuai dengan harapan para penggugat karena masa jabatan tidak boleh dipangkas atau berakhir di 2024.
"Iya, putusan MK sudah sesuai dengan apa yang dimintakan dalam gugatan permohonan dimana MK menetapkan bahwa ketentuan yg terkait dengan pembatasan masa jabatan dinyatakan tidak berlaku," ujar dia.
Menurut Ilmar, ketentuan dalam UUD pilkada itu berbunyi bahwa Pilkada Serentak 2024, sehingga masa jabatan kada 2020 akan berakhir di Desember. Padahal menurut SK pelantikan dan pengangkatan seharusnya di 2026 atau berlaku 5 tahun karena dilantik 2021.
"Itu kemudian diajukan gugatan, tapi diterima bahwa ketentuan mereka masa jabatan di Desember 2024 tidak berlaku, sehingga dinyatakan masa jabatan berakhir kepala daerah (pilkada 2020) akan berakhir jika kepala daerah pilkada 2024 dilantik," imbuh dia.
Dia menambahkan, putusan MK sudah sesuai, karena menyangkut perlakuan wajar dan adil serta tidak diskriminatif, maka masa jabatan kada 2020 akan berakhir setelah dilantik nanti ada kepala daerah yang baru.
"Jadi, kalau pelantikan pilkada 2024 proses kan masih ada hal lain, misalnya gugatan nanti berakhir. Sehingga proses bisa sampai 2025, kita tidak tahu. Saya kira apa yang dilayangkan Danny dan teman-teman tepat, karena tidak sesuai UU yang berlaku. Hak mereka 5 tahun tak boleh dipangkas," kata Ilmar. (suryadi-fahrullah-sasa anastasya/C)