JAKARTA, RAKYATSULSEL – Sebuah studi mengatakan jika seorang anak perempuan, terutama remaja, berpotensi enam kali lebih sering mengalami gangguan dismorfik tubuh atau yang lebih dikenal dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD).
Gangguan dismordik tubuh atau BDD merupakan suatu kondisi kesehatan mental di mana penderitanya merasa terdapat kekurangan pada fisiknya dan dipikirkan secara berlebihan.
Penyakit mental tersebut dapat membuat penderitanya merasakan emosi negatif yang berdampak signifikan pada kualitas hidup.
Selain itu, kondisi tersebut sering kali tidak terdeteksi dan penderitanya sulit mendapatkan pengobatan di usia mudanya.
Mengutip Antara, Profesor Psikolog dari Universitas College London, Georgina Krebs menyebut bahwa biasanya penderita mengalami gejala, seperti berpikir berlebihan tentang kekurangan atau kecacatan tubuh yang mungkin dirasa tidak penting oleh orang lain, berulangkali memeriksa penampilannya di depan cermin atau selfie sambil mengalami serangan panik saat melihat kekurangan pada dirinya, merasa malu atau jijik pada tubuhnya, dan merasa takut karena berpikir orang lain akan menatap, menghakimi, atau mengolok tubuhnya.
Krebs juga mengatakan bahwa gejala lainnya adalah timbul rasa memerlukan prosedur medis berulang, seperti bedah kosmetik untuk memperbaiki apa yang dirasa kurang, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Untuk penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti. Namun, para ahli percaya bahwa faktor-faktor seperti genetika, struktur otak, pengaruh budaya, dan riwayat pengalaman masa kecil yang buruk termasuk pelecehan, penelantaran, atau intimidasi dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi tersebut.
“Karena orang-orang muda dengan BDD cenderung tidak secara spontan mengungkapkan gejala-gejala mereka kecuali jika ditanya secara langsung, maka sangat penting bagi dokter untuk menggunakan alat skrining BDD dan bertanya langsung kepada orang-orang muda tentang masalah penampilan mereka,” terang Krebs.
Melalui studi terbarunya, dia menganalisis data lebih dari 7.600 anak-anak dan remaja yang menjadi bagian dari survei kesehatan di Inggris.
Survei tersebut mencakup pertanyaan mengenai apakah anak tersebut pernah mengalami kekhawatiran tentang penampilannya.
Responden yang menjawab sedikit atau banyak menjalani pemeriksaan tambahan untuk gangguan dismorfik tubuh.
Dalam hasil yang diterbitkan di Journal of American Academy of Child and Adolescent Psychiatry menunjukkan bahwa gangguan dismorfik tubuh memengaruhi 1,8 persen anak perempuan dibandingkan 0,3 persen anak laki-laki.
Para peneliti mencatat bahwa sekitar 70 persen anak-anak yang didiagnosis dengan BDD juga mengalami setidaknya satu gangguan psikologis lain, seperti kecemasan dan depresi, sehingga pasien muda dinilai memerlukan skrining gangguan kecemasan dan depresi hingga penyakit penyerta.
Tak hanya itu, sekitar setengah atau 42 persen orang-orang dengan BDD melaporkan tindakan menyakiti diri sendiri atau upaya bunuh diri, dibandingkan mereka yang tidak mengalami gangguan tersebut.
“Keasyikan penampilan merupakan fenomena klinis yang signifikan, terkait dengan morbiditas substansial. Diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan BDD, meningkatkan praktik skrining, dan mengurangi hambatan terhadap pengobatan berbasis bukti,” tulis para peneliti. (jp/raksul)