Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pilkada Kota Makassar akan diselenggarakan pada 27 November 2024. Hal ini merupakan momentum Pilkada yang pertama dilaksanakan secara serentak nasional. Total kepala daerah yang dipilih melalui Pilkada serentak sejumlah 545 daerah, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Khusus provinsi Yogyakarta tidak ikut gelaran Pilgub, sebab UU memberikan keistimewaan pada Yogya, dimana pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur tidak ditentukan melalui Pilkada.
Selain Gubernur Yogya yang tidak dipilih melalui Pilkada, juga ada enam kabupaten/kota administrasi di Provinsi DKI Jakarta yang juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Kepulauan Seribu.
Sudah memanas sejumlah nama yang mencuat selaku kandidat wali kota Makassar, bahkan PPP sudah santer menyebut nama Indira Yusuf Ismail, istri Wali Kota Danny Pomanto. Selain itu ada nama Munafri Arifuddin yang diusung Partai Golkar, kemudian ada Fatmawati Rusdi, Syamsu Rizal, Aliyah Mustika Ilham, Rudianto Lallo, Rachmatika Dewi dan sejumlah nama lainnya.
Namun banyak juga obrolan warung kopi yang mempersoalkan kehadiran Indira Yusuf Ismail yang merupakan istri wali kota saat ini. Danny Pomanto dianggap membangun dinasti politik dengan ikutnya Indira sebagai kandidat pada 2024. Padahal polemik soal dinasti politik sudah usai saat MK mengeluarkan putusan nomor 33/PUU-XIII/2015 yang juga adalah landasan legal formal bagi politik dinasti dengan harapan menghindari diskriminasi dalam pilkada itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal yang terkait larangan politik dinasti dalam pasal 7 huruf r UU Pilkada. Awalnya pasal 7 huruf r menyatakan seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.
Maksud dari kalimat “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yaitu tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Pengaturan dinasti politik telah melanggar empat isu Hak Asasi Manusia (HAM), di antaranya Pasal 21 DUHAM PBB Tahun 1948, yang pointnya menyatakan setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, kemudian melanggar Pasal 5 ayat 1 UU HAM, yaitu setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama, selanjutnya melanggar Pasal 15 UU HAM, yaitu setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, dan yang terakhir melanggar Pasal 43 ayat (1) UU HAM, yang menegaskan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara.
Menurut penulis semua warga negara harus diberi kesempatan, faktor utama dan penentu adalah parpol yang mengusung calon dan rakyat itu sendiri sebagai pemilih. Partai politik harus memilih calon secara transparan dan calon tersebut memiliki kemampuan atau kapasitas serta berintegritas. Toh, pada akhirnya masyarakat sudah punya logika dalam menentukan siapa pemimpin yang dikehendaki. (*)