MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Gowa diprediksi akan berlangsung ketat. Sejumlah nama akan menggelar tarung bebas tanpa bayang-bayang petahana dan dinasti politik.
Sudah ada beberapa figur yang mengemuka seperti Amir Uskara, Rauf Malagganni, Darmawangsyah Muin, dan Husnia Talenrang.
Melirik capaian kursi hasil Pemilu 2024 DPRD Gowa, hanya PPP yang bisa mengusung sendiri calon kepala daerah tanpa koalisi. Sementara parpol lainnya harus berkoalisi untuk memenuhi syarat pencalonan yakni 9 kursi.
Ketua PPP Sulsel, Imam Fauzan menegaskan bahwa untuk pilkada Gowa, partai sudah menugaskan Amir Uskara sehingga tidak ada pilihan lain.
"Pak Amir tidak akan maju di Pilgub, tapi fokus di Pilkada Gowa," ujar Imam Fauzan, Senin (22/4/2024).
Menurut dia, pihaknya saat ini sisa mencari wakil untuk dipasangkan dengan Amir Uskara. Dia memastikan, Amir akan menggandeng figur yang berpotensi memenagkan Pilkada Gowa 2024.
"Mengenai wakil masih berlangsung cair," imbuh Fauzan.
Adapun, Ketua Tim desk Pilkada PAN Sulsel, Irfan AB mengatakan bahwa dari kader yang sudah pasti maju di Pilkada 2024, salah satunya adalah Husniah Talenrang. Dai mengatakan, pihaknya belum membicarakan posisi tawar 01 atau 02 bagi ketua PAN Gowa tersebut.
"Kami meminta kader untuk membangun komunikasi dan membuka diri terhadap kandidat lain," ujar Irfan.
Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa Sulsel Muhammad Haekal mengatakan meski punya satu kursi, namun pihaknya terbuka kepada siapa saja yang ingin berkoalisi di Gowa. Menurut dia, pihaknya sudah membuka proses penjaringan untuk persiapan pilkada.
"Sudah ada figur yang mencoba membangun komunikasi salah satunya Darmawangsyah Muin dari Gerindra," beber Haekal.
Sementara Wakil Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik Partai NasDem Sulsel, Mustaqim Musma mengatakan sampai saat ini pihaknya belum menentukan figur yang diusung di Gowa. Meski begitu, NasDem yang memiliki enam kursi di DPRD Gowa akan memprioritaskan kader internal.
"Begitupun dengan figur eksternal. Semua punya peluang sama. NasDem ini partai yang terbuka,” kata Mustakim.
Ketua Organisasi Kaderisasi Keanggotaan (OKK) Partai Demokrat Sulsel, Muhammad Aslan mengatakan pihaknya realistis di Pilkada Gowa dengan modal hanya empat kursi. “Kalau kami di Gowa pasti akan mendorong kader, tapi realistis tergantung dinamika politik di sana," ujar Aslan.
Dirinya menyebutkan di Pilkada Gowa ada tiga kader terbaik mereka yakni ketua DPC Rismawati Kadir Nyampa, Ardiansyah Sabir, dan Lukman Naba.
“Kalau kader ingin maju sebagai 01 harus mencukupkan menjadi 9 kursi. Tapi nanti dilihat perkembangan. Yang pasti kami tidak ingin menjadi penonton,” ujar dia.
Manajer Strategi dan Operasional Jaringan Suara Indonesia (JSI) Nursandy Syam menyebutkan Pilkada Gowa akan berlangsung sengit. Beberapa figur kuat seperti Rauf Mallagani, Amir Uskara, Darmawangsyah Muin, dan Husniah Talenrang. "Kemungkinan besar akan maju bertarung," kata dia.
Dirinya menyebutkan kekuatan mereka cukup berimbang. "Sehingga variabel dalam memenangkan kontestasi perlu dipikirkan secara matang. Misalnya penentuan calon wakil dan variabel penentu lainnya," imbuh Nursandy.
Tak adanya petahana dan belu munculnya dinasti politik di Gowa direspons Direktur Profetik Institute, Muhammad Asratillah. Menurut dia, praktik ini dimulai dari elit yang memiliki sumber daya politik besar di sebuah daerah, lalu berupaya mengajak atau menarik kerabat atau orang terdekat untuk ikut dalam kandidasi politik.
"Lalu mengintervensi para pemilih dan stake holder agar kerabat yang bersangkutan bisa duduk dalam jabatan politik tertentu," ujar dia.
Menurut dia, dinasti politik ini, merupakan konsekuensi dari masih suburnya budaya politik patron-klientisme. Artinya sumber daya kekuasaan hanya akan beredar di kalangan yang sangat terbatas.
"Kalau bisa hanya beredar di kalangan keluarga sendiri. Sehingga figur yang tdk berasal dari lingkaran elit politik atau bisnis akan sulit untuk kecipratan sumber daya kekuasaan," imbuh Asratillah.
Dia menilai, jika dinasti politik masih mempertimbangkan kapasitas, maka mungkin akan masih bisa memberikan maslahat bagi publik. Yang menjadi problem jika keluarga yang diendors sama sekali tidak memiliki kapasitas politik.
Sehingga, lanjut dia, minim akan pengalaman berorganisasi dan gagap dalam berkomunikasi. Suburnya dinasti politik juga bisa dilihat dari beluk kuatnya partai politik secara kelembagaan.
"Sehingga loyalitas politik tidak terjangkar pada parpol dengan keunikan ideologi masing-masing, tetapi lolyalitas politik terjangkar pada figur-figur yang dianggap berpengaruh (baik secara politik, sosial maupun ekonomi)," kata dia.
Bagi dia, familiisme atau dinasti politik berpotensi menciderai demokrasi. Merekrut satu atau dua anggota keluarga yang kapabel mungkin tidak jadi persoalan, "Tetapi memaksakan keluarga hanya karena ingin mengkapling sumber daya negara ke depannya, tentu akan membuat sakit demokrasi," ujar Asratillah. (fahrullah-suryadi/B)