Penyelidik Bumi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Sofyan Primulyana mengungkap gumpalan SO2, atau disebut juga belerang dioksida, yang menyebar luas ke atmosfer akibat letusan besar Gunung Ruang semakin berkurang.
Hal ini seiring dengan penurunan aktivitas vulkanik, baik itu secara visual maupun kegempaan.
"Maka diharapkan aktivitas magma di bawah permukaan Gunung Ruang semakin menurun, sehingga degassing gas-gas vulkanik dari magma juga semakin berkurang, termasuk berkurangnya konsentrasi gas belerang dioksida," kata dia, Senin (22/4) dikutip dari Antara.
Berikut rincian nilai sulfur dioksida hingga Jumat (19/4) menurut PVMBG:
- 17 April 2024 pukul 13.15 WITA: 3.000 ton dari kolom asap yang memanjang lebih dari 450 kilometer.
- 18 April pukul 14.30 WITA: 300 ribu ton dari kolom asap yang memanjang lebih dari 1.000 kilometer.
- 19 April: 190.000 ton.
"Hingga tanggal 22 April 2024 ini melalui pantauan citra satelit, kami belum mendapatkan update terbaru terkait konsentrasi sebaran gas belerang dioksida di Gunung Ruang," ujarnya.
Senada, Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengungkapkan udara di sekitar Gunung Ruang masih mengandung gas SO2.
"Setiap kali ada erupsi gunung berapi pasti ada gas sulfur dioksida ini gas tersebut. Tidak hanya mengganggu masyarakat, tapi juga berdampak pada aktivitas penerbangan, seperti Gunung Ruang ini," kata dia.
Menurut Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan BMKG Achadi Subarkah Raharjo, lewat siaran pers per 19 April, sebaran debu vulkanik terdeteksi ke arah Barat–Barat Laut dan Timur–serta Tenggara.
Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) Darwin menyebut wilayah yang terdampak sebaran letusan abu vulkanik Gunung Ruang pada saat yang sama adalah Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah bagian utara, dan sebagian Pulau Kalimantan.
Diencerkan atmosfer
Sofyan menjelaskan setiap erupsi gunung api pasti mengeluarkan gas-gas vulkanik, termasuk sulfur dioksida, dalam konsentrasi yang bervariasi di setiap gunung api. Hal ini tergantung kondisi magma di bawah permukaan dan intensitas erupsi.
Menurutnya, gas belerang dioksida dalam konsentrasi di atas 2 ppm (bagian per sejuta) berbau tajam dan dapat menyebabkan iritasi hidung dan saluran tenggorokan, saluran pernafasan, serta dapat mengiritasi mata dan selaput lendir mata.