Kejujuran Pemilu dalam Sengketa

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin

“Ini bukan soal kalah menang, tetapi ini soal kejujuran dalam demokrasi”

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bahwa demokrasi menjadi perbincangan dan masalah umat sejagat, semakin tak terbantahkan (baca; Francis Fukuyama, dalam The End History), sehingga sejarah pada prinsipnya tak dapat terpisah dari pergerakan sosial, sebuah revolusi kadang tak disadari menjadi hal utama bagi pergantian suatu pemerintahan, walau itu hanya sebatas hayalan tingkat tinggi.

Tetapi fakta di beberapa negara yang pernah ada dalam proses penggulingan kekuasaan bukan tidak mungkin itu dapat dilakukan mengingat despotisme kekuasaan yang domain dalam frame politik yang lagi-lagi mengatasnamakan demokrasi. Sementara kejahatan demokrasi semakin nampak dengan berbagai praktek politik yang melukai demokrasi sebagai ruang kejujuran rakyat.

Membincangkan mengenai politik seakan tidak ada habisnya. Berbicara mengenai politik, kita juga akan berbicara tentang sistem, rakyat, kelompok, kesejahteraan, dan tentu saja kekuasaan.

Politik ada sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani polis yang berarti kota atau negara. Kemudian berkembang menjadi polites, politeia, politika, dan politikos. Aristoteles, seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa politik itu sendiri adalah seni untuk mencapai kekuasaan serta usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Manusia sebagai zoon politicon tidak bisa menghindari politik dalam kehidupannya. Kesejahteraan dan kebaikan bersama menjadi fokus penting dalam tujuan murni politik itu sendiri. Untuk mencapai kesejahteraan dan kebaikan bersama yang diimpikan masyarakat maka dilakukan berbagai cara hingga suatu sistem pun diciptakan.

Di dalam suatu negara, politik yang memengaruhi sistem pemerintahan menjadi hal yang sangat penting untuk selanjutnya digunakan sebagai pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan.

Berbicara mengenai sistem, negara Indonesia yang mengatasanamakan dirinya sebagai negara dengan sistem demokrasi ini diuji dengan dinamika yang terjadi pada tahun politik 2024 mendatang, tepatnya 14 Februari 2024. Sebelum kita membahas lebih jauh, ada baiknya kita menilik sejenak makna demokrasi dan sejarah panjang demokrasi khususnya di Indonesia.

Demokrasi yang lahir di Athena awalnya menuai tanggapan negatif dan keraguan. Socrates seorang filsuf terkenal dari Yunani tidak menyetujui sistem demokrasi karena ia beranggapan bahwa dengan sistem demokrasi tersebut dikhawatirkan hanya orang-orang populerlah yang akan menduduki kursi pemerintahan karena banyaknya suara yang didapat yang tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki untuk membela hak rakyat.

Demokrasi yang berarti bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dalam artian dari, oleh, dan untuk rakyat adalah hal yang perlu diluruskan dalam pemahaman mengenai demokrasi. Demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) berarti bahwa warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan.

Senada dengan hal tersebut, Abraham Lincoln juga berpendapat bahwa sejatinya demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Satu hal penting berikutnya yang perlu kita ketahui mengenai demokrasi adalah sifat dari demokrasi itu sendiri.

Dinamika demokrasi di Indonesia menjadi satu pembelajaran untuk kita tentang demokrasi langsung dan perwakilan. Seperti yang kita ketahui, reformasi menjadi gerbang bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan demokrasi sepenuhnya. Ditandai dengan adanya multipartai, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat serta pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat menjadi contoh bahwa Indonesia menjalankan sistem demokrasi secara langsung pasca reformasi.

Walau kenyataannya, semua itu menjadi pepesan kosong, sebab demokrasi yang dipahami sebagai kebebasan justru dengan arogansi pemerintah membungkam dengan membatasi media sosial, adanya tuduhan hoaks, serta terjadinya kriminalisasi atas kelompok yang tak sependapat dengan jalan pikiran pemerintah. Padahal esensi demokrasi adalah terbukanya daya kritis dari rakyat. Dan ini ciri sebuah pemerintahan yang despotik.

Bisa dikatakan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang ‘unik’ di mana kita mencari sebuah bentuk demokrasi yang sesuai dengan tata nilai dan sistem sosial yang ada di negara ini. Pancasila sebagai landasan negara turut memengaruhi sistem demokrasi di Indonesia di mana kita kenal sebagai demokrasi Pancasila.

Demokrasi Pancasila yang menitikberatkan pada musyawarah mufakat dijalankan pada masa Orde Baru dan lebih dikenal dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.

Hajatan pemilihan legislatif (pileg) hingga pemilihan presiden (pilpres) yang digelar tahun 2024 untuk beberapa waktu yang lalu secara langsung cukup menjadi pembelajaran menarik bagi bangsa Indonesia dalam hal demokrasi. Meskipun tak sesempurna pada Pemilu 2019 lalu, tetapi hajatan besar demokrasi tersebut cukup menarik antusiasme dan partisipasi politik dari masyarakat.

Terlepas dari berbagai permasalahan seperti black campaign, money politics, hingga dugaan-dugaan kecurangan dalam pemungutan suara, setidaknya masyarakat dapat mencicipi hak istimewanya untuk menentukan pemimpinnya secara demokratis. Setelah hajatan tersebut selesai, publik kembali dihadapkan pada satu langkah politis yang diputuskan oleh para pemimpin yang mereka pilih.

Tapi sayang. Drama politik kita berhenti di sengketa di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK), itu artinya, bahwa proses politik kemarin tidak memiliki keabsahan, bisa dibilang penuh dengan kecurangan. Kita tidak tahu yang mana yang curang, atau bisa saja kedua-duanya curang.

Kalau seandainya kedua-duanya curang, maka proses demokrasi kemarin itu telah menghianati suara rakyat. Sengketa politik terjadi karena adanya indikasi kecurangan, logikanya, kecurangan berarti terjadi ketidakjujuran.

Secara ekstrem bisa dibilang bahwa proses politik adalah panggung kebohongan atas rakyat. Sebab, MK seakan dianggap sebagai institusi negara yang paling berhak untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Memang aneh, sebab dagelan politik telah dipertontonkan di ruang sidang MK, yang muncul adalah gaya politis-elitis, terus dimana suara rakyat?

Bahkan ada pameo menyebut seperti ini, mana ada politisi yang jujur, tetapi masalahnya adalah rakyat jujur menyerahkan suaranya di bilik suara.

Dan, mungkin kita bisa menyaksikan sidang sengketa di MK, pada prinsipnya bahwa sengketa politik tersebut adalah sengketa “kejujuran”, apakah semua yang terkait dengan perkara sengketa tersebut dapat berlaku jujur? Atau hanya sekedar melakukan pembelaan terhadap kebohongan biar terlihat “sedikit jujur”, atau MK menjadi ruang untuk melahirkan kejujuran atas hasil Pemilu. Itu fase Pilpres 2019 yang lalu penuh onak dan duri, terlihat dengan jelas indikasi kecurangan-kecurangan hingga masuk pada ruang sidang MK.

Bagaimana dengan Pilpres 2024? Pemilu 2024 suhunya semakin meninggi. Mulai proses deklarasi capres dan cawapres hingga proses pendaftaran di penuhi berbagai respon baik yang positif maupun negatif. Koalisi yang bubar, retak hingga hingar-bingar penghianatan. Tetapi di balik itu semua, rupanya ada skenario yang terselubung yang nyaris tak terpantau.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai agency penegakan hukum setelah melalui gugatan atas batas usia capres cawapres yang sekian bulan mengalami masa sidang yang demikian panjang setelah kedua bakal capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mhafud MD mendaftarkan diri di KPU tepatnya 19 Oktober 2024.

Tetapi Prabowo Subianto belum menentukan cawapresnya hingga di menit-menit terakhir pendaftaran. Publik bertanya ada apa?, apa yang di tunggu?, karena koalisinya gemuk sehingga sulit untuk menentukan?, berbagai macam pertanyaan spekulasi yang muncul.
Namun di situasi yang tak terduga, MK pada putusan nomor 90/PPU-XXI/2023 yang secara eksplisit menyebutkan batas usia cawapres 40 tahun dan pernah menjadi kepala daerah yang dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum. Keputusan ini kemudian menciptakan pro-kontra di masyarakat.

Berbagai respons bermunculan menyikap keputusan MK terkait batas usia cawapres. Respon pertama; keputusan MK itu final dan mengikat. Respon kedua; kalau di katakan keputusan itu untuk anak muda, tentu anak muda siapa yang di maksud, tentu yang punya privilege. Dan itu tiket untuk Gibran, putra Presiden Jokowi.

Keputusan MK itu memunculkan resonansi di ruang politik maupun di ruang publik. PDIP sebagai partai pemenang di Pemilu 2019 merasa di khianati, karena kadernya mengambil jalan lain untuk bergabung dengan Prabowo, dan Jokowi pun terindikasi dukungannya ke Koalisi Indonesia Maju. Keberpihakan itu yang pada akhirnya membuat jagat politik semakin memanas.

Ini bisa dibilang cacatan dalam demokrasi, di mana Mahkamah Konstitusi sebagai pilar tegaknya hukum justru menjadi agency praktek hukum yang keliru, dan cendrung melahirkan “gaya despotisme”. Sebagai epilog ; 98 KKN (kolusi Korupsi Nepotisme), namun sekarang di balik menjadi NKK (Nolong Kawan dan Keluarga).

Setelah drama pengumuman KPU tanggal 20 Maret 2024 lalu atas perolehan suara ketiga kontestan dengan perolehan suara Prabowo Gibran 58 persen---sesuai aturan tiga hari setelah pengumuman maka dibuka ruang gugatan ke MK atas kecurangan pemilu. Dan sementara ini bergulir sengketa pemilu di MK, para saksi ahli telah memberikan keterangan terkait bukti-bukti kecurangan.

Para pengacara saling sindir daam persidangan. Romo Magnis Suseno sebagai saksi ahli dari 03 telah menyampaikan makna filosofis terkait etika dan moral dengan sarkas “Jokowi ibarat karyawan yang curi uang toko, bahkan dianggap sebagai mafia organisasi”. Perdebatan pun sulit dihindari dari tim hukum 02 Yusril Ihza Mahendra terkait etika.

Bahkan pork barrel (politik gentong babi) pun mencuat dalam sidang sengketa pemilu di MK, Faisak Basri (ekonom senior) saksi ahli dari 01 menyebut politik gentong babi bagi negara berkembang seperti Indonesia bisa dilihat dari pengerahan aparat, politisasi bansos, money politik---semua itu hanya dapat dilakukan oleh penguasa yang punya interest pribadi pada kelompok atau pasangan tertentu dalam kontekstasi politik.

Menurut tim hukum 02 Hotman Paris menyangsikan mana mungkin pemilu bisa dibatalkan sementara Prabowo Gibran memperoleh 58 persen sekitar 94 juta suara pemilih. Tetapi banyak fakta sejarah di dunia pemilu dibatalkan bahkan pemenang di diskualifikasi karena kecurangan seperti di Kenya dengan kemenangan petahana 52 persen karena kecurangan dibatalkan.

Oleh karena itu, sengketa ini bukan hanya sebatas kecurangan tetapi dari awal proses pencawapresan Gibran di MK sudah menjadi masalah dalam politik demokrasi, sehingga dalamsengketa ini MK dituntut untuk mengembalikan marwahnya sebagai institusi terhormat dalam menyelamatkan hukum dan demokrasi di Indonesia.

Sebagai bagian terakhir dari tulisan ini meminjam istilah dari Parmoedya Ananta Toer “Kalau ahli hukum tidak merasa tersinggung dengan pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan” . Bahkan penyapu jalanan dapat membersihkan kotoran dijalanan, sementara ahli hukum yang tidak punya hati nurani dapat membersihkan kotoran tuannya.
Dan semoga pemimpin yang dilahirkan tidak lahir dari sengketa dan hasil kotoran. (*)

*Penulis adalah Direktur Ekskekutif LKiS

  • Bagikan

Exit mobile version