4. Tanggung Jawab Moril
Saat Zet Tadung Allo berkunjung ke tanah kelahiran di Toraja, ia mengatakan sebagai putra Toraja menyaksikan bahwa praktik judi tak lagi mengenal situasi dan kondisi. Para penjudi melihat dimana ada kesempatan, maka saatnya berjudi.
Ia juga mengaku melihat saat hari keagamaan umat kristiani, seperti Natal, praktik judi malah menjadi semakin marak. Pendirian ketuhanan tidak lagi memiliki ruang di hati oknum-oknum tersebut.
"Fenomena yang sangat memilukan namun inilah fakta yang terjadi," ungkapnya.
Sebagai putra Toraja, Zet Tadung Allo, mengaku ikut memiliki tanggung jawab moril terhadap masalah ini. Diam dan membiarkan kejahatan terjadi saat kita memiliki kemampuan untuk melakukan upaya perbaikan adalah kejahatan.
“Manarang umpiak bannang, pande umpa’tallu beluak” artinya andai membela benang dan membagi tiga rambut," tegasnya.
Falsafah ini dimaknai bahwa sejatinya orang Toraja terlahir dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah sesulit atau serumit apapun itu, serta dalam kondisi apapun.
Dalam memberantas judi ini dibutuhkan kesadaran kolektif dengan satu suara dan satu gerak bahwa judi ini adalah penyimpangan yang harus diberantas oleh seluruh pihak mulai dari APH, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan falsafah Toraja "misa’ kada dipotua, pantan kada dipomate".
"Yang artinya satu pendapat membuat kita hidup, banyak ego pendapat membuat kita mati," kuncinya. (Isak/B)