MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Andi Ali Armunanto mengatakan demokrasi elektoral memang membutuhkan pendanaan yang besar karena disertai dengan berbagai mekanisme.
"Anggaran besar itu tentu reasonable (wajar) dalam pandangan saya, untuk mengakomodasi hampir 6 juta pemilih di Sulsel. Tentu butuh dana yang besar, sumber daya manusia yang besar, butuh peralatan yang banyak, mekanisme yang banyak sehingga membutuhkan dana yang banyak juga," ujar dia.
Namun di balik anggaran besar yang bersumber dari pajak masyarakat itu, Andi Ali, berharap nantinya bisa turut menciptakan pemimpin yang berkualitas pula, sebagaimana harapan masyarakat yang memilih.
"Tentunya harapan itu ada, kita mau memilih pemimpin yang kapabel, pemimpin yang bagus. Kita juga berharap pemilihan ini jauh dari kecurangan dan bisa berlangsung dengan damai dan aman," imbuh dia.
Hanya saja, untuk menciptakan semua itu, Andi Ali berharap anggaran yang begitu besar digunakan sebaik mungkin. Mengingat, kata dia, dalam segala hal potensi penyelewengan atau potensi korupsi itu pasti ada.
Potensi-potensi korupsi yang disebut bisa terjadi itu mulai dari pembiayaan pembuatan surat suara, honorarium penyelenggara, dan pembiayaan lainnya dalam proses pemilihan tersebut.
"Potensi (korupsi) itu selalu ada, jangankan pemilu yang dananya triliunan, parkiran saja pasti ada potensi untuk menyelewengkan anggaran yang hanya ratusan ribu tiap hari, apalagi ini miliaran dan prosesnya rumit.
Termasuk biaya cetak surat suara dan distribusi logistik itu bisa jadi permufakatan jahat, misalnya, ada yang coba mengatur atau menggelembung anggaran," kata Andi Ali.
Dengan begitu, Andi Ali mengatakan, penyelenggara dalam hal ini KPU dan Bawaslu transparan mengenai penggunaan anggaran yang diberikan pemerintah. Termasuk masyarakat juga diharapkan bisa melibatkan diri dalam melakukan pemantauan agar anggaran yang bersumber dari pajak itu tidak disalahgunakan.
"Ini memang perlu kita awasi bersama dan butuh transparansi oleh penyelenggara atau lembaga pelaksana pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Sehingga semua dana diberikan itu bisa dipertanggungjawabkan pengelolaannya, bukan hanya pada pemberian anggaran atau pemerintah tapi juga kepada masyarakat, supaya masyarakat juga tidak menimbulkan opini," tutur Andi Ali.
Senada dengan itu, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun menyebutkan, potensi korupsi atau penyelewengan anggaran Pilkada pasti ada. Bahkan dalam hal pengadaan di pemerintah atau proyek pembangunan sekalipun.
"Memang potensi korupsi anggaran Pilkada itu ada, bahkan juga untuk anggaran lain," kata Kadir.
Untuk itu, Kadir menyampaikan, agar anggaran tersebut tidak mubazir dan berujung pada masalah hukum, maka penyelenggaraan harus mempergunakannya sebagaimana yang telah ditentukan.
Selain itu, ia juga meminta agar penyelenggara, pemerintah, maupun lembaga-lembaga pengawas lainnya turut memantau pengelolaan anggaran tersebut agar digunakan sebagai mestinya dan tidak terjadi tindakan korupsi.
"Harapannya, yah, sesuai peruntukan, apa yang di peruntukan, misalnya untuk a untuk a, jangan digunakan untuk anggaran b dan lainnya. Peruntukan sesuatu dengan apa yang dianggarkan," kata Kadir.
"Kedua mungkin internal di KPU, mulai dari KPU pusat perlu mengatensi penggunaan anggaran tersebut. Baik pengawasan dari internal, juga pengawasan dari eksternal seperti masyarakat sipil," ujar dia. (isak pasa'buan/C)