Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutf LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Menjelang perhelatan politik di Pilkada Serentak 2024, berbagai ragam kampanye dihelat untuk mendorong kepopuleran, mengangkat tingkat elektabilitas (keterpilihan) calon di kontekstasi politik. Sosialisasi paslon kian gencar dilakukan dari panggung ke panggung hingga memasuki lorong sempit sekalipun.
Namun ada kekhawatiran yang cukup mendalam ketika isu agama, SARA, menjadi jualan sekaligus bualan politik di Pilkada.
Hal ini tak pelak mengingat, isu agama dan SARA bisa menjadi pemantik bagi calon untuk memenangkan pertarungan. Sejarah Pilkada DKI Jakarta memberi pembuktian bagi kita bahwa politik identitas (agama, SARA) menjadi pengaruh dan penentu untuk menggiring suara pemilih.
Yah, pada akhirnya politik identitas bersoal karena kekalahan Ahok di Pilkada Jakarta yang lalu. Tetapi bukan berarti politik identitas tidak diterima, akan tetapi justru dengan politik identitas menjadi diskursus yang menghiasa wajah demokrasi di Indonesia.
Sensitivisme politik, nampak begitu berkelindan di ruang publik untuk merebut simpatik. Nyaris di panggung debat pun seringkali ditafsirkan sebagai lomba pidato, berbalas pantun, dan masih seputar untaian kalimat naratif, belum sampai pada gagasan pokok yang bisa diterima publik.
Pandangan pro konta dan sekaligus sinisme tak lepas dari karena keberpihakan politik pada kontestan tertentu yang bisa berakibat keluar dari nalar politik yang sesungguhnya.
Namun perjalanan bangsa ini, mulai dari masa kemerdekaan sampai pada masa pasca kemerdekaan masih melekat dengan apik adanya potensi untuk memecah belah, khususnya yang dilakukan oleh orang ataupun kelompok kepentingan tertentu.
Tujuan yang hendak dicapai juga beragam. Baik mulai dari motif ekonomi, politik, kekuasaan, hegemoni dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaannya politik belah bambu lebih dikenal dengan devide et impera atau politik memecah belah.
Politik belah bambu yang kemudian disebut demikian merupakan sebuah kiasan dimana ada salah satu pihak yang diangkat (superior) dan salah satu pihak yang diinjak atau menjadi imperior. Kiasan ini sama seperti pada saat membelah bambu, satu ditarik keatas dan satu lagi diinjak dibawah. Politik belah bambu tentu sangat berbeda dengan politik identitas yang selama ini dibincangkan.
Perbedaan yang paling mendasar adalah, pertama, politik identitas adalah karakter politik yang berkecendrungan membawa simbol-simbol dan identitas seperti agama, suku, ras, ikatan primordialisme, kekerabatan, klan, dalam ruang politik, akan membatasi kelompok tertentu yang berbeda dengan kelompok lainnya.
Kedua, sementara Politik belah bambu adalah satu karakter politik yang cenderung hegemoniak, mempertahankan status quo yang ada. Praktik politiknya adalah, membelah di ujung dan menginjak di bawah. Ini dapat dipahami sebagai model menjaga kekuasaan elitis dan menindas kelompok yang menentang. Hal ini pernah terjadi dimasa orde baru dengan gaya kepemimpinan otoritarian.
Secara historis, strategi devide et impera (pecah belah) berkembang dari strategi penaklukan para conquestador (penakluk) Spanyol atas suku-suku Indian di Amerika Latin pada abad 15 (1462). Penaklukan ini membawa era baru bagi Eropa dengan ditemukannya emas, perak, lahan produktif yang luas dan jumlah tenaga kerja dari populasi asli yang diperbudak.
Spanyol mendapatkan surplus yang luar biasa hingga mampu memajukan peradabannya dan menginspirasi negara-negara lain disekitarnya. Sejak saat itu, devide et impera tidak lagi hanya menjadi strategi perang namun lebih menjadi strategi politik yang mengkombinasikan seluruh pengetahuan yang dibutuhkan dalam penaklukan. Devide et impera juga menghasilkan berbagai varian perluasan taktik yang bisa kita temukan dalam rasisme, regionalisme dan fanatisme religius.
Sementara pada masa perjuangan kemerdekaan, pasukan kolonial dan juga anteknya sukses menerapkan politik ini. Sehingga wajar saja bangsa Indonesia cukup lama dalam merebut kemerdekaan. Kaum kolonial sebenarnya mempeljari budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia yang umumnya plural dan tidak ada satupun yang dominan.
Keberagaman atau majemuk inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai senjata bahwa kemajemukan sudah mengandung bom waktu yang dapat meledak kapan saja, tinggal menyiapkan pemicunya sebagai sumbu untuk menyalakan ledakan yang besar.
Dengan menganut teori dari Furnivall bahwa keragaman merupakan sumber konflik yang bisa saja meledak kapan saja. Dalam politik isu agama, ras dan suku begitu sensitive untuk membangun pencitraan politik sekaligus menciptakan the polical decay (pembususkan politik). Simbol agama begitu mudah diderek masuk dalam kubangan politik transaksional. Jubah-jubah demokrasi pun muncul atas nama agama dan kelompok tertentu demi hasrat kekuasaan.
Bagaimana dalam Pilkada?
Dalam pemilihan, strategi politik ini pun diterapkan untuk memecah konsentrasi pemilih dalam proses memilih pemimpin. Pengalihan isu dengan memunculkan ras, agama, golongan dan lain sebagainya sangat efektif dalam memecah suara dan meraih keuntungan. Dalam budaya masyarakat yang menganut politik parokial atau kaula tentu sangat berpengaruh sekali, namun dalam masyarakat yang menganut budaya politik partisipan justru isu seperti ini sudah tidak laku lagi.
Perpanjangan tangan politik belah bambu ini disintesakan dalam buku karangan Maciavelli; ill principe (sang pangeran). Seorang politisi atau penguasa harus berkarakter seperti singa yang ditakuti dan seperti serigala yang selalu siap bekerjasama sesama kawanannya dalam memangsa buruannya.
Sejalan dengan itu, maka politik belah bambu dapat dikatakan sangat efektif dalam melemahkan lawan yang dianggap memiliki kekuatan dan potensi yang besar, sehingga mampu untuk dikalahkan. Politik belah bambu seperti kanker yang menggerogoti dari dalam. Friksi, perbedaan pendapat dan juga perbedaan persepsi dapat menjadi pintu masuk yang paling efektif, sehingga banyak pihak yang justru tidak menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam politik pecah belah.
Situasi ini kemudian begitu sulit dihindari mengingat pertarungan dihampir daerah memiliki bobot potensi calon yang kuat dan mumpuni. Calon incumbent khususnya memiliki faksi yang kuat untuk melakukan itu (walau tidak semuanya), tetapi teori ini cukup memberi tekanan secara psikologis bagi kelompok lain (paslon) dalam kontekstasi pemilu.
Tetapi yang pasti adalah bahwa proses pilkada begitu sangat ditentukan oleh rakyat (antitesa demokrasi) sebagaimana Plato menyebutnya “Good life” didalam kerangka politik yang demokratis.
Pilkada serentak yang akan digelar 27 November 2024 mendatang adalah ajang kontekstasi didalam memilih calon pemimpin didaerah baik Gubernur, bupati dan walikota. Dengan jumlah kontekstasi sebanyak 545 dengan rincian 37 propinsi, 415 kabupaten dan 93 kota.
Politik lokalitas dalam pemilihan kepala daerah ini akan menjadi proses politik yang akan menganut politik patron klien (trah dan hubungan primordialisme) disamping intrik politik belah bambu juga akan dimainkan dengan berbagai issu dan gimmicknya.
Ini tantangan terbesar bagi demokrasi Indonesia dengan melihat indeks demokrasi di pilpres kemarin semakin menurun yang disebabkan berbagai praktek kekuasaan yang dituduh melakukan pelanggaran konstitusional. Mungkinkah demokrasi akan bertumbuh dengan baik di pilkada serentak?, atau jangan-jangan demokrasi semakin mundur akibat sektarianisme dan feodalisme yang menggerogoti dari dalam.
Sebab itu, demokrasi di pilkada serentak sangat dimungkinkan untuk tumbuh berkembang, sehingga pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang demokratis bukan yang lahir dari politik tarnsaksional yang menghalalkan segala cara dengan dalih yang penting menang. (*)