Sulsel Yang Terkoyak Kebijakan Abuse of Power

  • Bagikan

Oleh: Acram Mappaona Azis
Praktis Hukum

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Launching Pilkada serentak tahun 2024, mencatatkan penjabat sementara di beberapa provinsi dan kabupaten-kota. Fenomena penjabat sementara ini menjadi bagian dari narasi sequel dirty vote, yang dikaitkan dengan intervensi kekuasaan terhadap pemilu presiden dan wakil presiden.

Hal tersebut, tidak dapat dibuktikan di Mahkamah Konstitusi, namun justru menimbulkan riak lokal menjelang Pilkada Serentak 2024.

Kehadiran penjabat sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, bupati, wali kota kemudian menjadi seksi, karena kehadirannya sama dengan pejabat definitif hasil pemilu.

Terlebih masa tugas yang berada dalam rentang waktu pergantian tahun anggaran, menjadikan penjabat sementara terlibat dalam penyusunan APBD.

Meskipun Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Wali Kota, tetap saja kewenangan penjabat tersebut dapat menjadi wahana bermain kebijakan, termasuk yang bersifat strategis.

Sebagaimana diketahui, setiap daerah memiliki rencana tata ruang dan wilayah, termasuk rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang, sehingga dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 disebutkan larangan, diatur dalam Pasal 15 ayat (2), larangan dalam hal melakukan mutasi ASN, larangan membatalkan dan mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya, larangan kebijakan pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya, serta membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.

Hal tersebut menunjukkan kedudukan dan fungsi penjabat tersebut, sebagai turunan dari kekosongan jabatan, merupakan fungsi administrasi, dan tidak dibenarkan menjalankan fungsi politik yang di dalamnya terdapat visi dan misi.

Hal ini terjadi di Sulawesi Selatan, ketika penjabat gubernur, memulai aksi dengan membentuk Komite Ekonomi Daerah, yang kemudian dijadikan agen untuk mengkoordinasikan BUMN dan BUMD di daerah untuk mendukung kebijakan yang tidak didukung APBD.

Hal yang paling abuse of power kemudian dilakukan Penjabat Gubernur Sulsel dengan menabrak tiga aturan sekaligus, termasuk Perda Nomor 2 tahun 2020, pada saat Penjabat Gubernur Sulsel mengangkat Tanri Abeng yang berusia lebih dari 59 tahun menjadi Komisaris di PT Sulsel Citra Indonesia (Perseroda).

Selain melewati batas umur yang diatur dalam PP Nomor 54 tahun 2017 dan Permendagri Nomor 37 tahun 2018, pengangkatan komisaris tersebut juga tidak dilakukan melalui suatu proses seleksi.

Penjabat Gubernur Sulsel tetap menjalankan visi misi-nya, dengan melakukan serangkaian program mercusuar yang dilakukan dengan cara melemahkan pejabat gubernur sebelumnya, kemudian membuat program sulam kebijakan.

Akibat dari perbuatan tersebut, Pemprov Sulsel kehilangan hak istimewa mengelola blok ex PT Vale, melalui PT SCI.

Belum selesai dengan hal tersebut, Direktur Utama dan Direktur Pengembangan Usaha PT SCI justru diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Hal ini masih bergulir di Pengadilan Negeri Makassar dan PTUN Makassar.

Seolah tidak tersentuh hukum, Penjabat Gubernur Sulsel justru membangun pencitraan diri, dengan mengedepankan publikasi individu, sehingga nyaris selama menjabat, masyarakat tidak mengetahui Kepala Dinas di Provinsi. Seluruh informasi yang disampaikan humas Pemprov hanya kegiatan Penjabat Gubernur, yang seolah bekerja sendiri.

Abnormal sistem pemerintahan di masa transisi terjadi karena adanya kekuasaan absolut yang melekat, meskipun ada pembatasan dalam bentuk larangan.

Dari perspektif asas umum pemerintahan yang Baik, kehadiran Penjabat sementsrs dalam tenggang waktu panjang, terlebih melewati perslihan tahun anggaran, memang memberikan pengaruh psikologis dan sosiologis terhadap pemangku jabatan.

Tanpa suatu proses riset, dan kajian, Penjabat Gubernur Sulsel mengeluarkan kebijakan Cavendinasisasi Sulsel. Program BUMN dan BUMD diminta menyalurkan CSR untuk pembelian bibit pisang Cavendish.

Hal ini dilakukan karena APBD tidak dapat digunakan untuk pembelian bibit yang belum bersertifikat. Dengan kebijakan tersebut, terdapat hak masyarakat Sulsel untuk mendapatkan CSR secara langsung dan bermanfaat, dipaksakan untuk pembelian bibit pisang Cavendish.

Meskipun hasilnya akan dibeli oleh trader internasional, namun sampai dengan beredarnya undangan pergantian Penjabat Gubernur Sulsel, nyaris tidak tersuarakan lagi kontraktor penyedia bibit dan trader yang akan membeli pisang cavendish untuk pasar Timur Tengah.

Dari shyndrome Sulsel tersebut, terlihat jelas, bahwa Penjabat Gubernur, Bupati, dan Wali Kota seharusnya dapat lebih memperhatikan kebijakan tata ruang dan tata wilayah, rendanya pembangunan daerah, dan fokus strategis setiap daerah yang ditempati bertugas.

Meskipun hal ini hanya terjadi di Tahun 2024, dan ke depan pelaksana tugas ini hanya akan bersifat pelaksana harian karena jadwal pilkada dan masa jabatan sudah seragam. Namun cukup menjadi catatan khusus untuk setiap penjabat, yang masih menyisakan masa jabatan, agar tidak tergiur dengan nikmatnya menjadi penguasa daerah, sehingga mengenyampingkan visi dan misi daerah yang diamanahkan. (*)

  • Bagikan