AMERIKA SERIKAT, RAKYATSULSEL - Di kota Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, kota tempat saya sedang belajar. Tadi pagi, saya mendapat kabar duka atas wafatnya Bapak Prof. Dr. Salim Haji Said.
Saya berusaha mengingat beberapa momen menyenangkan, sejak mengenal hingga wafatnya Pak Salim Said. Tulisan ini menjadi bukti kami memiliki hubungan baik, saya memposisikan diri sebagai junior atau muridnya beliau, kebetulan satu asal kampung halaman, Sidrap, Sulawesi Selatan. Saya juga mengenal adiknya, Almarhum Muhammad Ali Said, mantan juru foto Harian Republika.
Saya mengenal Pak Salim Said di Jakarta, sekitar tahun 2000-an di sebuah acara pementasan seni tari asal Sulawesi Selatan. Panitia menghadirkan dan meminta Pak Salim Said mengomentari jejak dan asal pengaruh kreasi lahirnya Tari Padduppa (Tari Penyambutan Tamu).
“Tarian ini memiliki kemiripan dengan tarian dari India, pakaiannya gemerlap,” katanya ketika itu. Di kesempatan lain, Pak Salim bilang ke saya, “Tarian Bugis-Makassar itu perlu diperkaya dengan gerakan kreasi baru supaya indah ditonton. Jika tidak, hanya satu yang menonjol, pakaiannya gemerlapan.”
Suatu hari di bulan Oktober atau November 2004, saya kembali ketemu Pak Salim di kantor Wakil Presiden era Bapak M. Jusuf Kalla (JK). Hari itu, Pak Salim datang bersama kru TVRI untuk interview Pak JK sebagai Wakil Presiden baru dilantik. Ia menyapa Pak JK, “Pak Ucu,” karena keduanya sahabat,” ketika ia mensetting dan memandu rekaman interview.
Pak Salim dikenal sebagai wartawan berbakat, di samping sebagai pengamat seni, juga sebagai penulis otoritatif dinamika politik, hubungannya dengan peran militer dan berbagai perkembangan politik internasional. Dia sering tampil di layar TV sebagai presenter, komentator, atau narasumber.