Prof. Dr. Muhammad Shuhufi Raih Gelar Guru Besar Bidang Perbandingan Mazhab

  • Bagikan
Prof. Dr. Muhammad Shuhufi

MAKASAR, RAKYATSULSEL - Guru besar Bidang Ilmu Perbandingan Mazhab Fakultas Fikih Islam, Prof. Dr. Muhammad Shuhufi, S.Ag., M.Ag. akan dikukuhkan menjadi guru besar Selasa 28 Mei 2024 mendatang.

Prof Shuhufi dalam pengukuhannya akan menjabarkan pidato berjudul "Fenomena Post-Truth dan Upaya Kontekstualisasi Fikih Islam" dihadapan para anggota senat dan dewan guru besar

Prof Shuhufi merupakan guru besar kelahiran Pangkep 18 November 1974. Anak dari pasangan Drs. H. Abdullah dan Hj. St. Nadrah, BA. Saat ini dirinya aktif mengajar sebagai dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Dalam perjalanannya, Prof Shuhufi mengenyam pendidikan di SD  sekolah SDN 3 Teladan Jagong dan dilanjutkan di Pesantren IMMIM Putra, Tamalanrea. Setelah tamat dirinya lantas melanjutkan kebangku perkuliahan untuk meraih gelar Strata 1 (S1) pada Fakultas Syari’ah, Jurusan Peradilan Agama (PA), IAIN Alauddin Ujungpandang. S2 dan S3 ya pun diselesaikan di UIN Alauddin Makassar.

Berbagai posisi pernah dilakoni Prof Shuhufi antara lain menjadi Guru dan Pembina Pesantren IMMIM Makassar di tahun1995-1998, Direktur Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PUSAKA) Almaida, 2004-sekarang, Pembina Racana Almaida Pramuka UIN Alauddin, 2009-sekarang dan masih banyak lagi. Organisasi juga tak luput dari perhatian Prof Shuhufi antara lain Pramuka UIN Alauddin Makassar, Ikatan Masjid Muballigh Indonesia Muttahidah (IMMIM) dan Ikatan Alumni Pesantren IMMIM (IAPIM).

Beberapa karya juga dihasilkan oleh Prof Shuhufi selama menjadi pengajar seperti Defamation in the New Criminal Code: A Review of Substantive Justice (Scopus 2023). Baja in Jināyah Perspective: Study of the Reception of Customary Criminal Sanctions for the Bima Muslim Community (Scopus, 2023). Dan Harmonization of Islamic Law and Local Culture: A Study of Indonesian Sundanese Ethnic Culture (Sinta 2, 2023)

Dari pembahasan tulisan ini dapat disimpulkan bahwa gejala post-truth merupakan suatu kondisi pembentukan suatu kebenaran yang tidak memiliki metodologi keilmuan, bahkan dalam pencapaiannya tidak melalui metode-metode keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membahas disertasi yang akan di paparkan Prof Shuhufi berjudul "Fenomena Post-Truth dan Upaya Kontekstualisasi Fikih Islam", dirinya akan menjabarkan lebih mendalam terkait fikih Islam dalam konteks Post-Truth.

Dalam kesimpulannya, Prof Shuhufi menjelaskan bahwa ranah fikih menjadi sebuah sasaran yang sangat mudah untuk terpapar post-truth sebab fikih berkaitan dengan praktek ibadah keseharian yang sangat berkaitan dengan emosi dan keyakinan pribadi para pemeluknya. Apalagi jika dikaitkan dengan dasar kajian fikih yang merupakan kajian yang senantiasa memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga sangat mengkhawatirkan jika kebenaran post-truth ini dianggap sebagai salah satu pendapat ulama fikih atau bahkan bisa dianggap sebagai sebuah mazhab fikih.

Fenomena post-truth inilah yang menimbulkan polarisasi kelompok beragama, debat kusir antara prilaku keberagamaan yang cenderung hanya mengandalkan pembentukan narasi dalam berkomentar dan mengabaikan nash-nash yang dapat menjadi dasar dan rujukan dalam  fikih.

Kondisi inilah yang menuntut adanya kontekstualisasi fikih. Kontekstualisasi dalam tulisan ini menawarkan dua bentuk: Penguatan ijtihad tațbiqīy dalam bentuk: pertama, Penguatan ijtihad implementatif (tațbiqīy) dalam bentuk tahqīq al-manāt, yaitu upaya implementasi hukum pada individu yang tepat dan mālāt al-af’āl, yaitu berupa pencapaian pada tujuan utama pada hukum fikih yang dihasilkan dari istinbat (ijtihad istinbat). kedua, mendorong adanya taqlid digital yang bersifat generik. (Hikma)

  • Bagikan