Apalagi jika dikaitkan dengan dasar kajian fikih yang merupakan kajian yang senantiasa memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga sangat mengkhawatirkan jika kebenaran post-truth ini dianggap sebagai salah satu pendapat ulama fikih atau bahkan bisa dianggap sebagai sebuah mazhab fikih.
Fenomena post-truth inilah yang menimbulkan polarisasi kelompok beragama, debat kusir antara prilaku keberagamaan yang cenderung hanya mengandalkan pembentukan narasi dalam berkomentar dan mengabaikan nash-nash yang dapat menjadi dasar dan rujukan dalam fikih.
Kondisi inilah yang menuntut adanya kontekstualisasi fikih. Kontekstualisasi dalam tulisan ini menawarkan dua bentuk. Pertama, Penguatan ijtihad implementatif (tațbiqīy) dalam bentuk tahqīq al-manāt, yaitu upaya implementasi hukum pada individu yang tepat dan mālāt al-af’āl, yaitu berupa pencapaian pada tujuan utama pada hukum fikih yang dihasilkan dari istinbat (ijtihad istinbat). Kedua, mendorong adanya taqlid digitalyang bersifat generik. (Hikmah/B)