BARRU, RAKYATSULSEL -- Malam seusai Magrib, Selasa (21/5/2024), kenduri prosesi budaya dilaksanakan di Dusun Binuang, Desa Binuang, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru.
Di salah satu rumah warga, Andi Malle, kegiatan pendokumentasian “Maddoja Bine” digelar.
Acara yang dihadiri puluhan orang, termasuk tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, Kepala Desa serta masyarakat dusun Binuang berjalan lancar.
Tri Astoto K beserta Tim Kerja Dokumentasi yang terdiri dari Tamrin, Muslim, Asrianto, St. Hajar, Rahmaniar, Ernawati dan Ika Merdeka Sari memandu jalannya prosesi tersebut.
Maddoja bine merupakan salah satu ritual adat yang menjadi tradisi pertanian yang biasa dilaksanakan petani Bugis sebagai bentuk penghormatan (mawaseq) kepada Sangiang Serri (dewi padi menurut orang Bugis).
Dalam bahasa Bugis maddoja berarti 'begadang atau berjaga, tidak tidur'; bine berarti 'benih’. Ritual Maddoja bine adalah berjaga beberapa malam menunggui benih padi yang diperam dalam undukan (tumpukan menyerupai gunung) hingga berkecambah, sebelum ditabur di persemaian keesokan harinya.
Lama pelaksanaan upacara ritual “Maddoja bine” ini bervariasi, tergantung kecepatan benih tumbuh. Tapi biasanya tiga hari tiga malam hingga lima hari lima malam. Jika benih yang disimpan ditempat khusus sebagai alat tes sudah berkecambah maka bisa dipastikan bahwa bening yang diperam dalam undukan pun sudah berkecambah pula.
Jika sudah demikian undukan sudah dapat dibongkar dan upacara ritual ”Maddoja bine” sudah dianggap selesai. Benih yang sudah berkecambah sudah dapat di bawa ke sawah untuk disemai (mampo’) dipersemaian yang dibuat di sawah.
Seterusnya setelah benih padi yang disemai di persemaian sudah tumbuh subur setinggi kurang lebih 30 cm maka benih pun sudah dapat dicabut (mangngebbu’) untuk ditanam dalam jarak tertentu di lahan persawahan yang berair (mattaneng).
Tri Astoto K selaku pelaksana program kegiatan Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2024 yang difasilitasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX ini mengatakan, yang istimewa dalam upacara ritual “Maddoja bine” ini diadakan “massureq”, yaitu sebuah bentuk kegiatan apresiasi terhadap mitologi (Sureq) “Meongmpalo Karellae”.
Sureq “Meongmpalo Karellae” (biasa juga disebut Meongmpalo Bolongnge) ini adalah sebuah karya sastra yang masih merupakan turunan (bagian atau serat) dari karya Kanon Sastra I La Galigo. “Kita harus jaga dan lestarikan budaya leluhur," kata Tri Astoto.
Tri, sapaan karib tokoh sastra nasional ini mengungkapkan, pendokumentasian ini merupakan cara dalam menjaga tradisi yang penuh nilai-nilai budaya dan mengedukasi. (*)