Dihubungi terpisah, sastrawan, sosiolog, dan tim kurator Sastra Masuk Kurikulum Okky Madasari menyampaikan bahwa harapan adanya kebijakan Sastra Masuk Kurikulum disimpan sejak lama oleh banyak pihak. ”Tentu saya menyambut baik tawaran untuk terlibat dalam program ini,” katanya.
Dia mengakui, selama ini memang sudah ada sekolah-sekolah yang menggunakan karya sastra sebagai bahan ajar. Namun, sifatnya masih sporadis, bergantung inisiatif guru, dan kebanyakan terbatas pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
”Kenapa baru sekarang? Ini tentu juga sangat bergantung pada kesadaran dan keberanian pembuat kebijakan. Kebetulan, saat ini pemegang kebijakan di Kemendikbudristek sangat menyadari pentingnya sastra masuk kurikulum dan berani untuk membuat keputusan,” paparnya.
Terkait dengan proses kurasi, Okky mengungkapkan bahwa prosesnya dimulai sejak pertengahan tahun lalu. Setidaknya ada 17 kurator yang terdiri atas sastrawan, akademisi, hingga guru-guru sekolah.
Setelah proses kurasi selesai, buku-buku yang direkomendasikan di-review guru-guru untuk diuji apakah layak atau tidak. Dalam proses ini, ada beberapa buku yang akhirnya gugur, harus ditukar jenjang, atau dicari judul lain dari penulis yang sama.
Selain itu, lanjut dia, tim kurator memutuskan agar hanya ada satu buku dari satu nama penulis yang ada dalam list. Selain untuk pemerataan representasi, kebijakan ini diharapkan bisa memantik guru dan siswa untuk mencari karya-karya lainnya dari sang penulis.
Misalnya, ada buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang digunakan untuk kriteria tujuan pembelajaran. Salah satunya memahami sejarah kebangsaan. Buku itu ditempatkan di jenjang SMA karena mempertimbangkan kompleksitas cerita dan ketebalan.