Oleh : Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL. CO - Sekitar tahun 1950-an di Spanyol partycracy gagal dipraktikkan, sebab model ini dianggap sebagai jalan memunculkan dominasi partai politik. Sementara di beberapa belahan negara Eropa justru sebaliknya memunculkan skenario memunculkan tokoh tunggal dalam pembentukan partai politik seperti yang terjadi di negara Belanda, Inggris, Denmark dan beberapa negara lainnya, ini juga tak lepas amatan para dunia akademik menyorotnya sebagai cikap bakal lahirnya kultus ketokohan yang berlebihan dan sangat berbahaya juga bagi jalnnya demokrasi.
Memang kita harus meyakini bahwa perjalanan demokrasi sudah cukup lama dan berusia renta, namun belum juga mampu membangun kultur demokrasi sebagaimana filosofi demokrasi yang dari, oleh dan untuk rakyat. Faktanya masih di dominasi oleh kelompok tertentu sehingga demokrasi menjadi milik bagi mereka yang berkuasa. Itu masih sangat rasional di bandingkan demokrasi milik bagi mereka yang memiliki modal (pengusaha). Dan di banyak tempat itu yang terjadi.
Sloganisme demokrasi memang menjadi diksi yang kuat untuk membangun keyakinan rakyat, bahwa pilihan terbaik untuk sebuah sistem politik adalah demokrasi. Sehingga piranti kebudayaan dan agama menjadi hal terpisah (sekuleristik). Padahal kalau di telusuri lebih jauh, kebudayaan dan agama boleh di bilang sebagai saudara kandung dengan demokrasi.
Tetapi fakta obyektifnya tidaklah demikian, kebudayaan justru di tempatkan pada inferioritas begitu pula agama. Bahkan nyaris agama (Islam) justru menjadi “musuh negara” ada apa sesungguhnya?, bukanlah dalam sejarah para pendiri bangsa ini begitu dekat dengan ulama. Dalam sejarah di catat Soekarno (Presiden pertama RI) justru minta fatwa KH. Hasyim Asy’ari tentang hukum membela dan mempertahankan negara. Walau di pihak yang lain ada juga ulama yang berseberangan dengan beliau, tetapi itu tidak mengganggu kultur sosial dan demokrasi.
Berbeda dengan sejarah hari ini, demokrasi (mungkin) hanya sebatas tameng untuk kita berlindung atas nama kebebasan. Kebebasan yang terbelenggu, padahal negara telah memberi ruang yang cukup besar dalam undang-undang tentang hak kebebasan berpendapat di muka umu. Pengkebirian hak azali kian kita temukan dalam negara yang serba belajar berdemokrasi.
Maka tak heran pernyataan Cak Nur beberapa tahun yang lalu bahwa Indonesia masih belajar berdemokrasi. Sejatinya dari academic Plato hingga Abraham Lincoln artivicial demokrasi selalu bicara soal kebebasan (liberty), pengharagaan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah bagian penting dari sokoguru demokrasi, di sana humanisme di lahirkan.
Humasnity and consencus politik adalah muara untuk membangun kultur demokrasi. Hebron di tahun 1986 ketika terjadi pemboman maka media internasional dan dunia bereaksi dan sekaligus mengutuk sebagai tindakan kebiadaban dan keji. Dan mahkamah internasional pun memberikan sanksi yang berat terhadap tragedi tersebut. Dan ini di anggap sebagai fase kebiadaban dalam sejarah ummat manusia di dunia modern.
Dan melalui politik luar negeri yang bebas aktif Indonesia pun memberikan reaksi yang cukup keras melalui beberapa media internasional termasuk BBC London dan New York Times, sehingga pemerintah Indonesia dalam hal ini presiden Soeharto mendapat pujian oleh dunia internasional. Setidaknya politik luar negeri bebas aktif bisa memberi pengaruh terhadap sikaop dunia internasional tentang Indonesia.
Namun seiring perjalanan waktu Reformasi 98 hingga saat kita seringkai menemui situasi yang anomali, yakni tentang ketidak-bebasan dan ketidak merdekaan yang melahirkan ketidakadilan. Diksriminasi dan kriminalisasi serta the political decay menjadi hal yang ampuh untuk memecah belah persatuan serta membangun framming fitnah di antara pemimpin negara. Distrust begitu kuat serta gesekan kepentingan antar lembaga baik legislatif maupun eksekutif sulit kiranya dihindari. Kelataan politik demokrasi seakan menjadi budaya baru dalam alam demokrasi.
Akhirnya para tokoh politik mau atau tidak mau harus memakai kuping yang tak mendengar dan sedikit mati rasa, sebab hal ini media mainstream selalu memperlihatkan karakter buzzer-political order begitu kuat dan itu sangat mengganggu psikoloogi kepribadian seseorang. Mungkin itulah yang dialami banyak tokoh nasional seperti Anies Baswedan yang seringkali di caci, di bully, di fitanh dan di pojokkan.
Tetapi seorang pemimpin yang bijak tentu tidak secara emosional merespon dengan kemarahan. Di salah satu stasiun televisi Anies Baswedan di tanya tentang bulliyan dan fitnah yang di tujukan kepada dirinya, tetapi ia menjawab dengan santai “ Bahwa saya tidak perlu marah atas cacian itu, sebab saya tau mereka lagi tengah mencaci dirinya dan dia juga butuh makan “ (sarkasme) tetapi santun dan bijak.
Fenomena ini juga tentu melanda beberap tokoh yang lainnya seperti AHY, Ridwan Kamil, Ginanjar, Cak Imin, Fadly Zon, Fahri Hamzah dan lain-lain. Bahkan oposisi pun terjadi perang terbuka seperti Said Didu, Rocky Gerung, Refly Harun, Effendy Gazali, Karni Ilyas dan beberapa tokoh lainnya yang berada di luar kekuasaan. Sebenarnya “kekuasaan sedang tak baik-baik saja”. Sehingga kekuasaan butuh untuk di respon dengan kritik yang konstruktif.
Kritisme bagi kekuasaan saat ini di pandang sebagai jalan yang berseberangan dengan demokrasi, padahal demokrasi di bangun dari kekuatan kritik. Menurut Albert Camus kritik bisa saja di lakukan dengan puisi, prosa, musik, parodi maupun orator. Kritik harus dipandang sebagai nutrisi bagi proses pembangunan demokrasi. Kekuasaan tak menemukan esensinya tanpa adanya kebebasan berpendapat.
Sayang negara ini kritik dipandang sebagai bahaya laten dari kekuasaan. Dan di banyak kasus terjadi tetapi tak terungkap dengan terang. Kriminalisasi ulama, penembakan, korupsi bansos, kekerasan di beberapa tempat dan lain-lain adalah satu diantara banyak wujud dan cara kita membunuh demokrasi. Di abada ke keempat belas Gereja di anggap sebagai otoriter sehingga terjadilah pertentangan dengan mengorbankan sekian banyak pendeta. Kaum gereja di anggap punya keberpihakan yang begitu kuat terhadap negara—seharusnya posisi gereja adalah sebagai institusi agama menempatkan dirinya sebagai kekuatan sosial.
Tetapi fenomena ini berbanding terbalik di negeri ini, justru kekuatan agama menjadi ketakutan negara. Ini salah kaprah, sebab di masa lalu negara ini merdeka karena kaum agamawan menjadi pilar utama perjuangan menuju kemerdekaan, bukan anbivalensi. Dan lalu menjadikan agama sebagai musuh negara ini salah besar. Dan Indonesia tidak punya sejarah sekulerisme---tetapi kita cendrung memisahkan diantara keduanya. Sekulerisme juga bukan ?
Sebagai epilog; mempertanyakan kembali masa depan demokrasi seolah menyibak tirai jendela dan melihat tembok berkabut. Demokrasi yang dipahami sebagai sistem politik yang dirancang untuk menjamin kepemimpinan mayoritas, mengalami pingsan berkali-kali dibawah kenyataan ngeri ; dimana pemimpin otoriter dapat melawan institusi yang membawa mereka ke kursi kekuasaan. Dan cara demokrasi mati ?, melalui pengerosian norma-norma yang melemahkan institusi demokratis secara halus, perlahan dan brutal.
Kesimpulan dari “Teori Modernisasi” pun dipertanyakan oleh Professor Politik Cambrigde University David Runciman ; “Apakah demokrasi adalah titik akhir perekmbangan politik?” Jangan-jangan bukan demokrasi yang sekarat dan mati, tetapi kita hanya berada pada situasi dimana penyakit benar, pada pasien yang salah. (*)