Jangan Egois jika Tidak Ingin Anak Berperilaku Buruk Saat Dewasa

  • Bagikan
Ilustrasi

RAKYATSULSEL - Tumbuh bersama orang tua yang egois, dapat memberikan dampak besar dalam kehidupan anak-anak.

Bahkan didikan orang tua yang egois, dapat memengaruhi kehidupan sang anak serta perilaku tertentu hingga dewasa.

Mereka yang tumbuh dengan orang tua egois akan menunjukkan beberapa perilaku yang berbeda.

Salah satunya adalah mereka mengorbankan kesejahteraan diri sendiri demi memrioritaskan kebutuhan orang lain.

Apa saja perilaku lainnya yang ditunjukkan oleh seseorang yang tumbuh dengan orang tua egois? Simak selengkapnya berikut ini, dikutip dari Hackspirit, Senin (27/5).

  1. Sulit Membentuk Keterikatan

Tumbuh dengan orang tua yang egois dapat memengaruhi cara seseorang menjalin hubungan sebagai orang dewasa. Seperti yang kita tahu, orang tua merupakan panutan pertama kita.

Orang tua yang membentuk pemahaman kita terkait sebuah hubungan. Saat seorang anak tumbuh dalam lingkungan di mana kebutuhannya sering diabaikan, mereka menjadi sulit membentuk keterikatan yang aman di kemudian hari.

Mereka sulit memercayai orang lain atau terus-menerus takut diabaikan, seperti saat mereka berada di rumah masa kecilnya.

Namun, hanya karena seseorang tumbuh dengan orang tua yang egois bukan berarti mereka ditakdirkan untuk mengulangi kesalahan orang tuanya.

  1. Berjuang dengan Harga Diri

Orang tua yang egois tanpa sadar bisa membuat seorang anak menjadi ragu hingga beranjak dewasa.

Saat seseorang tumbuh dewasa, kebutuhannya sering dikesampingkan untuk membantu keinginan orang tuanya yang egois tersebut.

Bagi orang tua yang egois, kebutuhan sang anak merupakan hal kedua yang dapat menjadi pergulatan nyata dengan harga diri saat anak beranjak dewasa. Sang anak terus-menerus mempertanyakan terkait apa yang diinginkan atau dibutuhkan itu penting.

Bahkan, mereka membutuhkan refleksi diri dan terapi selama bertahun-tahun untuk memahami bahwa perasaan dan kebutuhannya sama validnya dengan perasaan dan kebutuhan orang lain.

  1. Mengorbankan Kesejahteraan Sendiri demi Menyenangkan Orang Lain

Tumbuh bersama orang tua yang egois dapat menghasilkan pola yang menyenangkan orang lain di masa dewasa.

Ketika kebutuhan emosional seorang anak terus-menerus tidak terpenuhi, mereka mulai percaya bahwa mereka perlu mendapatkan cinta dan persetujuan dengan memenuhi kebutuhan orang lain.

Hal tersebut merupakan teknik bertahan hidup, membantu mereka bertahan hidup di lingkungan rumah yang menantang bagi mereka. Sayangnya, perilaku ini dapat terus berlanjut hingga dewasa.

Mereka pun cenderung selalu mendahulukan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri. Bahkan, mereka sampai mengorbankan kesejahteraannya sendiri.

Dalam hal ini, bukan berarti bersikap penuh perhatian atau baik hati merupakan hal yang buruk.

Namun, hal tersebut menjadi problematis jika berasal dari rasa takut akan penolakan atau keyakinan bahwa nilai seseorang terikat pada kesenangan orang lain.

  1. Sangat Mandiri

Beberapa orang yang tumbuh dengan orang tua yang egois menjadi sangat mandiri saat dewasa.

Ketika kebutuhannya tidak terpenuhi secara konsisten sebagai anak, mereka belajar untuk mengandalkan diri sendiri.

Hal tersebut menumbuhkan kemandirian yang kuat dan dapat menjadi kekuatan sekaligus tantangan. Sisi positifnya, mereka menjadi tangguh, banyak akal, dan sanggup melakukan apapun.

Mereka telah belajar menjalani hidup mereka sendiri dan biasanya unggul dalam memecahkan masalah.

Namun, kemandirian yang ekstrem tersebut juga dapat menimbulkan hambatan dalam menjalin hubungan dekat.

Hal ini membuat mereka enggan meminta bantuan atau cenderung menjauhi orang lain lantaran mereka merasa harus selalu menjaga diri sendiri.

  1. Menjadi Perfeksionis

Anak-anak dengan orang tua yang cenderung mementingkan diri sendiri merasa harus tampil sempurna untuk menarik perhatian atau persetujuan orang tuanya.

Mereka kemungkinan berpikir bahwa jika mereka bisa melakukan segalanya dengan benar, maka mereka akan mendapatkan cinta dan perhatian yang mereka dambakan.

Saat memasuki masa dewasa, hal tersebut terlihat dari upaya mereka mengejar kesempurnaan tanpa henti.

Bahkan, mereka cenderung memaksakan diri pada standar yang terlalu tinggi dan selalu berjuang melakukan yang terbaik hingga merasa sangat kecewa jika gagal.

Berjuang untuk menjadi yang terbaik bukanlah hal buruk, tetapi perfeksionisme dapat menyebabkan perasaan gagal dan tidak puas secara terus-menerus. Bahkan, perfeksionisme dapat menyebabkan stres, kelelahan, hingga masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

  1. Mendambakan Validasi

Mendambakan validasi berawal dari pengalaman masa kecil yang merasa tidak terlihat atau tidak didengar.

Ketika pikiran, perasaan, dan pencapaian seorang anak terus-menerus diabaikan, mereka merasa tidak terlihat atau tidak penting.

Saat menjadi orang dewasa, mereka terus-menerus mencari pengakuan dari orang lain untuk mengisi kekosongan tersebut.

Mereka membutuhkan orang lain untuk menegaskan nilai, ide, atau pencapaian mereka dengan harapan dapat diperhatikan dan dihargai.

  1. Kesulitan Mengungkapkan Perasaan

Mengekspresikan perasaan dengan cara yang sehat bisa menjadi tantangan nyata jika kamu tumbuh dengan orang tua yang egois. Mereka cenderung takut akan dipecat atau tidak diakui jika mengungkapkan perasaannya.

Saat masih kecil, perasaan mereka sering diabaikan, dianggap tidak penting, hingga merasa dibandingkan dengan perasaan atau masalah orang tua mereka.

Di masa dewasa, hal tersebut membuat mereka berjuang untuk membuka diri.

Namun, mereka membutuhkan banyak keberanian, waktu, dan terapi untuk memahami bahwa perasaannya valid serta tidak masalah untuk mengungkapkannya.

  1. Kesulitan Menetapkan Batasan

Perilaku lain dari seseorang yang tumbuh dengan orang tua yang egois adalah mereka kesulitan dalam menetapkan batasan yang sehat.

Saat tumbuh dewasa, batasan pribadi mereka kemungkinan sering dilanggar atau diabaikan.

Hal tersebut dapat membuat mereka merasa kebutuhan, perasaan, atau ruang pribadinya tidak layak untuk dihormati.

Sebagai orang dewasa, mereka kesulitan untuk menegaskan batasan lantaran takut memuat orang lain kesal atau ditolak.

Mereka berusaha bertahan dalam situasi yang tidak nyaman atau membiarkan orang lain melampaui batas mereka tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka tidak masalah untuk mengatakan 'tidak'. (jp/raksul)

  • Bagikan

Exit mobile version