Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tubuh manusia adalah pesan Tuhan yang tidak tertulis. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, tubuh pun menitip pesan. Mata mulai berkurang fungsinya, tidak dapat lagi mengenal dalam jarak yang cukup jauh. Telinga pun sudah tidak dapat mendengar dengan sempurna. Demikian halnya dengan gigi sudah mulai rontok satu demi satu. Semua mengandung pesan agar manusia lebih melihat ke dalam diri yakni hati nuraninya.
Immanuel Kant berkata, "kita sering kagum pada bintang yang ada di langit, bintang yang ada di panggung, dan bintang yang ada di lapangan. Tapi, kita tidak pernah kagum pada bintang yang ada di dalam hati kita sendiri, itulah nurani. Hati adalah cermin, apa saja kebajikan yang dilakukan terus-menerus akan menjadikan hati cemerlang, sedang perbuatan tercela akan menjadi titik-titik hitam, secara perlahan namun pasti akan menyebabkan hati menjadi gelap."
Kegelapan hati menyebabkan seseorang tidak bisa tersentuh dengan penderitaan orang lain, menimbulkan rasa tidak senang melihat kebahagiaan orang yang lebih beruntung, menggerakkan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia.
Al-Qur'an menyebutkan, "dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit pada mereka” (QS. Al-Baqarah/2: 10).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara penyebab yang mengundang datangnya penyakit hati adalah; pertama, keinginan yang berlebihan. Seseorang yang mendambakan sesuatu dengan cara berlebihan akan sulit baginya untuk berlaku obyektif. Karena itu janganlah menilai seseorang, atas dasar rasa cinta yang berlebihan.
Sebab dengan dasar itu akan menutup matamu untuk melihat segala kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, janganlah menilai seseorang atas dasar kebencian, karena kebencian itu akan menutup segala kebaikannya.
Kedua, kesombongan. Boleh jadi keangkuhan itu muncul di hati seseorang karena merasa melebihi orang lain dalam hal ilmu, harta, keturunan, dan kedudukan serta banyaknya pengikut. Kalau seseorang tidak mau menerima kebenaran, karena yang menyampaikan kebenaran itu kedudukannya lebih di bawah dari pada dirinya, itu berarti sebuah kesombongan.
Rasulullah saw berpesan, "siapa saja yang mati dan dalam hatinya ada kesombongan meskipun sebesar debu, maka ia tidak akan mencium bau surga, kecuali bila ia bertaubat sebelum maut menjemputnya”.
Abu Dzar (salah seorang sahabat Nabi) berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin gantungan kunci dan sandalku indah. Apakah itu termasuk sikap sombong”. Rasulullah bertanya, “Bagaimana perasaan hatimu?” Abu Dzar menjawab, “Aku mengenal kebenaran dan tenteram dalam kebenaran”. Rasulullah berkata, “Yang demikian itu tidak termasuk kesombongan. Sombong adalah meninggalkan kebenaran, lalu mengambil selain dari kebenaran. Memandang orang lain lebih rendah kemudian meremehkannya”.
Ketiga, kedengkian. Kalau kita iri melihat orang lain sukses mencapai keinginannya, sementara kita tidak bisa mencapainya. Karena kita bersaing, maka muncul perasaan dendam kepada orang yang bertarung dengan kita.
Kedengkian tidak hanya merugikan orang lain, namun lebih merugikan pelakunya. Seorang pendengki akan menyebarkan fitnah terhadap orang yang didengkinya, itulah sebabnya Alquran mengajarkan untuk senantiasa berlindung kepada Allah “dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” (QS. Al-Falaq/113: 5).
Untuk terhindar dari kedengkian, Al-Ghazali memberi resep antara lain: sayangi orang yang pernah kita dengki, sebarkan kebaikan-kebaikannya, senantiasa berbuat baik kepadanya. Kalau yang kita dengki itu orang yang berilmu, doakan agar semakin bertambah ilmunya.
Tanyakan pada hati nurani dan dengarkan bisikan-bisikan lembutnya dalam keheningan, agar cahaya Ilahi dapat menembus meneranginya. Hanya dengan keheningan hati, setiap orang sesuai dengan profesi, pekerjaan, dan kemampuannya dapat berbuat kebaikan untuk diri dan orang lain. (*)