Sarkasme Hukum, Psychological Assassination!

  • Bagikan
Praktisi Hukum, Acram Mappaona Azis

Oleh: Acram Mappaona Azis

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hukum yang digambarkan bagai sosok seorang dewi (perempuan), yang memegang timbangan (keadilan) dan sebilah pedang terhunus, menunjukkan kelembutan yang senantiasa siap siaga menebas untuk mencapai keseimbangan. Hukum membenarkan merampas kemerdekaan seseorang, untuk kepentingan orang lain. Hak tersebut dibenarkan dan dikuatkan oleh negara melalui perangkat kekuasaan.

Ajaran tentang keadilan dalam tumpukan pemikiran filsafat, tidak akan pernah menjawab bagaimana hukum itu mewujudkan sesuatu itu menjadi adil. Negara modern menempatkan hukum sebagai alat, untuk mencapai tertib sosial, sampai di titik keseimbangan peralihan hak dan kewajiban. Sementara negara maju, menempatkan hukum sebagai cabang kewenangan konstitusi yang berbentuk instrumen disiplin bernegara.

The presumption of innocence, yang mengajarkan humanisme hukum, memberikan kewenangan hakim untuk memutuskan. Namun, di bagian dunia manapun, belum ada hakim yang memerintahkan seseorang untuk tidak ditahan dengan prinsip tersebut. Hal ini menjadikan setiap orang menjadi dianggap tidak bersalah hanya di ruang persidangan. Namun di ruang tahanan, setiap kemerdekaannya telah tercabut, kecuali hak bernafas, makan, dan minum sesuai kemampuan negara.

Hari-hari terakhir kita disuguhkan dengan drama penegakan hukum, yang berseri, dari seorang Jaksa Agung Muda diikuti sekelompok pasukan khusus. Dilanjutkan dengan putusan hakim yang menyatakan Jaksa Penuntut Umum KPK tidak berwenang melakukan penuntutan, dan serial aliran dana dugaan tindak pidana korupsi. Putusan yang menggelitik, bagi setiap praktisi hukum yang memahami, bahwa setiap permulaan persidangan hakim memeriksa dengan saksama pihak yang duduk di kursi penuntut umum, penasihat hukum, dan terdakwa.

Putusan tersebut justru menunjukkan, bahwa proses persidangan sudah cacat sejak awal, karena ternyata yang duduk di kursi penuntut umum bukan jaksa yang ditugaskan. Bisa ditafsirkan kemudian bagaimana dengan persidangan-persidangan sebelumnya, atau perkara lainnya.

Meskipun seorang penasihat hukum yang cermat, akan mempertanyakan hal tersebut di awal, mengenai surat tugas dan identitas jaksa penuntut umum. Demikian halnya dengan penasihat hukum diperiksa untuk izin beracara, bahkan terdakwa dipersesuaikan identitas dirinya.

Sebelumnya, drama mega korupsi BTS 4G, dan perjuangan hukum Lucas Enembe yang berakhir seiring meninggalnya terdakwa dalam proses penegakan hukum. Sejenak, tentu ini menjadi renungan bagi setiap pemikir dan praktisi hukum. Apakah ini tujuan berhukum? Bahkan, sudah sering kita mendapatkan kabar tentang tersangka yang meninggal karena berusaha melarikan diri, berbuah timah panas. Hal kontradiksi dengan pengejaran kriminal bersenjata yang ditangkap hidup, untuk diperhadapkan di pengadilan.

Negara hukum diciptakan dengan pikiran mulia, menempatkan nilai ketuhanan, kemanusiaan dan ditutup dengan keadilan sosial. Tidaklah Pancasila menganut pemikiran Aqunios mengenai keadilan untuk sebanyak banyak orang, melainkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Di atasnya, terdapat Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bukan sekadar adil, tapi beradab. Adab ini berlandaskan nilai-nilai luhur istiadat dan adat, yang secara turun temurun diajarkan dalam konsep budi pekerti, etika, dan moral. Kemudian diberi kewenangan hakim itu menempatkan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak menyebutkan adanya perbedaan dalam konsepsi dan keyakinan agama dan aliran tertentu.

Seringkali kita dipertontonkan, sebuah upacara, seolah menjadi bagian dari pelaksanaan KUHAP, di mana seorang tersangka ditampilkan ke publik, untuk disaksikan seluruh dunia, bahwa kami sedang menangkap pelaku kejahatan. Sekuel ini bagian dari upaya memberikan informasi publik (padahal termasuk hal dikecualikan), atau prestise institusi, personal, atau memang bagian dari upaya assassination, menjatuhkan mental seorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana.

Suatu hari seorang pejabat diumumkan mendapatkan promosi dari negara, di sudut lain namanya diumumkan sebagai tersangka. Apakah harus dengan cara demikian? Apakah kekuasaan eksekutif tidak lagi memiliki komunikasi dengan penegakan hukum. Sisi lainnya terlihat pula, bagaimana kekuasaan hukum di level penyidikan sudah bisa menjatuhkan sanksi sosial dengan trial by press.
Persidangan yang ditayangkan secara terbuka dan dibuka untuk umum, tidak lagi memperhatikan daya tampung ruang sidang, karena ada kamera yang menyiarkan secara langsung persidangan itu, sehingga menjadi persidangan yang dibuka, terbuka dan live untuk seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat dunia.

Hal tersebut harus dinyatakan oleh hakim, karena izin menggunakan kamera di ruang sidang hanya diberikan oleh hakim, meskipun di pintu sudah tertera, dilarang merokok, makan, dan minum serta membawa kamera. Bahkan merekam suara sekalipun harus mendapatkan persetujuan hakim.

The ethic of law enforcement sebagai perlindungan hak asasi manusia, termasuk meninggikan derajat penegak hukum, seolah luluh dan terbengkalai oleh luapan lahar arus informasi. Hukum menjauh dari cita-nya, masing-masing berjalan di alam rutinitas dan pekerjaan, bukan lagi sebagai suatu profesi yang dimuliakan. Fenomena ini menjadikan hukum lebih dekat pembalasan atas perbuatan, bukan pemasyarakatan.

Hal ini akan semakin buruk, meskipun pemikiran restoratif justice yang dilembagakan mulai memberikan secercah harapan. Namun, perlu didudukkan kembali tujuan bernegara hukum itu sendiri, untuk mencapai keadilan, atau menampakkan kekuasaan dalam kekuasaan itu sendiri.

Euforia berdemokrasi yang lahir sejak menyerahnya kekuasaan Orde Baru atas desakan perubahan, menyimpan mata rantai pemikiran filsafat dan pragmatis yang bercampur. Transisi paradigma politik sosialisme Indonesia Bung Karno, otoritarianisme demokrasi Soeharto, dan liberalisasi dalam masa transisi membawa pemikiran hukum di Indonesia mengalami degradasi konseptual dan tujuan. Hukum menjadi alat demokrasi ditunjukkan dengan perubahan UU politik setiap menjelang Pemilu, sekaligus menjadi alat pemukul bagi kekuasaan.

Lebih ironis, karena menjadi persepsi warga masyarakat, bahwa hukum bukan bagian dari pelayanan yang diberikan negara, melainkan alat untuk dapat menjatuhkan lawan sosial demokrasi. Sementara negara, dalam kekuasaan daulat partai politik, selain berebut kekuasaan eksekutif, juga memainkan pengaruh di ruang judikatif.

Untuk mengakhir hal ini, diperlukan suatu revolusi pemikiran hukum, dan merefleksikan kembali, dan merumuskan, apakah kita berhukum untuk memangkas generasi, atau membangun dialektika transisi yang memperkuat persatuan Indonesia? Hal yang mudah, kecuali kita sedang memaklumi fase ini sebagai perebutan kelas dalam teori klasik yang usang. (*)

Penulis Merupakan Praktisi Hukum di Makassar

  • Bagikan

Exit mobile version