Oleh: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Suatu pengalaman berarti dalam hidup sejatinya terrefleksikan dalam sebuah catatat sejarah. Sejarah (history) kadang memang penuh luka, darah, air mata, bahkan kematian pun ditulis dengan apik. Heroisme bagi siapa yang memenangkan sejarah dan menghukum yang kalah. Di sana tentu ada kebencian, dendam, amarah.
Tetapi tak dapat dinafikkan “kepingan sejarah” memberi isyarat bagaimana seharusnya perjalanan kisah (story) itu tak menghilang dalam tugu ingatan manusia. Sejarah ada untuk dikenang demikian pula dengan kisah hidup yang dialami baik itu secara personal maupun kelompok.
Saya, memahami betul, perguruan tinggi dibangun dengan sokoguru (pilar penyanggah) yang salah satu diantaranya adalah “mimbar akademik dan kebebasan intelektual”, tiang penyanggah inilah yang kemudian menjadikan tegak dan berdirinya konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan bergeraknya narasi ilmu pengetahuan di tengah kehidupan kampus sebagai basis intelektual, dan ditemukannya “orang-orang merdeka”.
Di sana kultur pengetahuan bergerak, panggung diskusi dan penguatan wacana (diskursus) menjadi bagian santapan kaum akademis di kampus-kampus. Kultur kampus seringkali disemboyankan sebagai “Rumah Para Tuhan” yang memiliki makna tempatnya suara-suara kebenaran itu didengungkan.
Tentu, pergerakan kultural kampus mengalami fase-fase perubahan tersendiri menurut zamannya. Ada tiga anasir gerakan intelektual dalam kehidupan kampus yang perlu diteropong secara seksama; (1). Intelektual forces, bergerak pada penguatan budaya pengembangan pengetahuan baik itu dalam kelas mapun diluar kelas. Dan ini banyak memberi spirit bagaimana dimensi saintek menjadi hal utama dalam kehidupan akademik, walau tak harus menafikkan fungsi kontrol sosial mahasiswa. (2). The moral Forces, kekuatan basis kampus sebagai medium pendidikan etika dan estetika, dan dengan berbagai aktifitas kampus yang membuka ruang ekspektasi bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi diri. (3). The political forces, yakni satu kekuatan politik kampus yang memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Ketiga poin ini sesungguhnya merupakan ruh dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan dan penalaran, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat.
Bagi sebagian kalangan menilai bahwa kampus telah “mati suri”, sesungguhnya pernyataan tersebut bukan tanpa alasan, bahwa dunia akademik semakin menyepi dari agenda politik. Tetapi di sisi yang lain, gerakan kampus yang di motori oleh kaum mahasiswa sedikit menghentak nurani bagi kaum peragu melihat kampus sebagai corong perubahan.
Reformasi 1998, yang diawali dengan krisis moneter di tahun 1997 dan berujung pada suksesi kepemimpinan nasional yang akan tetap mempertahankan kepemimpian Orde Baru. Sakralisasi politik Orde Baru menjadi instrument pembungkaman kaum civil society dan kelompok penentang saat itu, seperti Sri Bintang Pamungkas, Amien Rais dan beberapa tokoh lainnya di balik gerakan reformasi.
Reformasi tidak sekadar “gerakan emosional”, tetapi reformasi adalah sebuah keharusan sejarah. Dan ini adalah bagian dari Revolusi kaum muda di Indonesai sebagaimana catatan Bennedict Anderson. Pesona gerakan reformasi adalah ruang “pemberontakan” melawan hegemonian dan otoritarianisme.
Karenanya, reformasi adalah catatan kecil dari suatu perubahan di bangsa ini. Walau jejaknya sudah memasuki 26 tahun lamanya (lima kali pemilu), tetapi agenda reformasi terhianati. Keterbukaan yang didengungkan diruang reformasi kini terkatup dalam liberalisasi politik demokrasi.
Yah, dengan jujur bisa dibilang mahasiswa saat ini hanya bisa dihadiahi “tepuk tangan” dan terlalu tertidur di dipan-dipan kekuasaan. Mungkin, dan bisa jadi karena the political forces memakan dirinya, masuk pada jebakan despotisme kekuasaan politik tertentu. Sebagai pelaku sejarah, tentu 26 tahun yang lalu adalah satu babakan “kerinduan”, meletupkan emosi sosial dengan nyanyian perubahan.
Meminjam tesis berfikir dari Julian Benda yang merilis satu pemikiran “Penghianatan kaum intelektual”, rasa-rasanya saat ini kita sedang berada di fase iklim otoritarianisme mengemuka di permukaan. Bukti empirik misalnya ; kebebasan berekspresi, berpendapat di muka umum semakin dikekang dengan cara memproduksi peraturan pemerintah dalam bentuk undang-undang hanya untuk membungkam gerakan mahasiswa dan masyarakat.
Padahal dalam dunia demokrasi, gerakan itu adalah kontrol penguatan demokrasi di luar parlemen. Terjadinya pembegalan hukum dan konstitusi, keberpihakan penguasa kepada asing tapi menyepelekan rakyatnya, harga bahan pokok kian meroket, pajak dinaikkan, hutang menumpuk---kaum intelektual justru memilih diam, dan hanya berjuang untuk kepentingannnya sendiri. Seperti UKT yang mengggila, sehingga mahasiswa bereaksi hanya untuk menyelamatkan dirinya, sangat pragmatis dan oportunis.
Penghianatan intelektual itu secara telanjang dipublik dipertontonkan; pelanggaran konstitusi yang terjadi justru sebagian para pakar hukum mendiamkannya, bahkan ada yang membenarkannya. Reformasi 98 adalah sebuah gerakan mengembalikan supremasi hukum ditengah pusaran politik.
Agar Indonesia tetap menjadi negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Praktek negara kekuasaan (hegemonian) ditahun 98 sebab jalan suci gerakan mahasiswa untuk mengambil peran kontrol sosialnya dengan tiga tuntutan rakyat ; (1) Turunkan Orde Baru (Soeharto). (2) Bersihkan kabinet dari unsur-unsur Orde Baru. (3) Turunkan harga kebutuhan pokok. Sekalipun ada tutnutan ikutan lainnya seperti dicabutnya Dwi Fungsi ABRI, dan dicabutnya Kepmen 0457 tentang pedoman tata lembaga kemahasiswaan yang kemudian berubah menjadi Kepmen 155 tahun 1999 sebagai penggantinya.
Memang sangat miris bagaimana pengkhinatan intelektual itu menjadi “wabah di masyarakat”, para pakar dan ahli bersekongkol membenarkan terjadinya berbagai pelanggaran hukum. Bagaimana sebagian mantan aktivis di era reformasi justru memilih membelot---dan mengubur jejak sejarahnya di tahun 98 seperti Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Andi Arif dan beberapa tokoh lainnya. Dan, mahasiswa pun sepertinya mengalami hal serupa dengan diam melihat kenyataan sosial kalau “kita sedang tidak baik-baik saja”.
Seorang penulis buku yang berjudul “Matinya Kepakaran (The death of expertise)” yang bernama Tom Nicholas menyatakan ; “Dan para pakar, ahli, dan kaum intelektualis yang sedang diuji apakah ia tetap tegak pada nilai-nilai benar?, kalau tidak, maka tunggulah punahnya kepakaran”.
Reformasi 98, adalah gerakan perubahan yang tidak mudah, gerakan ini harus berhadapan dengan kekuatan politik yang mengakar selama 32 tahun lamanya. Tetapi dengan isu yang sama KKN (kolusi, Korupsi, Nepotisme) agenda perubahan pun berjalan dengan apik. Sehingga tepat 21 Mei 2024 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Itu adalah fase tumbangnya orde baru. Momentun jatuhnya orde baru menjadi rujukan selanjutnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari unsur KKN sebagaimana amanat reformasi.
Namun 26 tahun yang lalu dengan sikap skeptis, sepertinya agenda reformasi menjadi buyar dan bluur, karena sebagian aktivis dimasa itu telah menjadi corong kekuasaan yang korup hari ini. Dionasti politik, nepotisme, korupsi seakan menjadi kilas balik sejarah tahun 1997-1998 kembali mengemuka. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah ini bagian dari mengubur sejarah gerakan 98? atau memang kekuasaan saat reinkarnasi dari era Orde Baru?, semua bisa terjadi dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada saat ini.
Kekuasaan yang hegemonian justru bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi. Di tengah lakon politik kekuasaan yang cendrung menafikkan sejarah masa lalu, maka justru akan membentuk sejarah untuk dirinya sendiri bahwa bangsa ini sedang berada dipenghujung “kerapuhan”. Kerapuhan itu terlihat maraknya terjadi kasus hukum di ruang para penegak hukum, intoleransi antar ummat beragama, korpotokrasi (korupsi yang dilakukan secara bersama-sama antara penguasa dengan pengusaha), kriminalisasi tokoh agama, jurnalis, budayawan, aktivis, kritikus, kecurangan pemilu serta berbagai masalah sosial primer juga sulit dihindari seperti kebutuhan pokok warganegara semakin mengerikan di tengah lesunya ekonomi masyarakat. Bahkan yang lebih gila lagi praktik liberalisasi disektor pendidikan yang membunuh orangtua siswa dan mahasiswa.
Lalu, ke mana semua itu harus disuarakan?, sementara DPR (parlemen) masih sibuk menghitung jatah kursi di Senayan dan jatah kursi menteri di pemerintahan mendatang. The political forces sebagai bagian terpenting andil politik mahassiwa dalam berjuang justru juga mengalami tidur panjang. Mungkin lebih bijaknya adalah---Hanya Tuhan yang mampu merubah semua ini menjadi baik. (*)