Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Beberapa hari ke depan umat Islam akan merayakan Iduladha 1445 Hijriah. Disebut juga dengan Hari Raya Haji atau Idulkurban. Kurban masih seakar dengan kata karib yang bermakna dekat. Sahabat karib artinya teman dekat. Makna yang mendasar dari Idulkurban adalah hendaknya manusia menjalin kedekatan dengan Tuhan agar tidak sesat dalam menjalani hidup, karena sesungguhnya kita semua milik-Nya, dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali.
Sejarawan at-Thabary, mengatakan kurban adalah tradisi nubuwwah (tradisi kenabian) semua perjuangan para nabi dan rasul bermuatan pengorbanan. Adam 'alaihisalam memiliki keturunan, Qabil dan Habil. Qabil adalah seorang petani yang mengorbankan hasil kebunnya, tertolak oleh Tuhan karena dipenuhi dengan ambisi dan hawa nafsu. Sementara Habil seorang peternak mengorbankan ternaknya yang gemuk dan sehat diterima Allah karena sebuah keikhlasan.
Nuh 'alaihisalam ketika mengajak kaumnya untuk taat kepada Allah, hanya beberapa di antaranya yang mengikuti ajakannya sementara lainnya ingkar termasuk istri dan anaknya. Allah mengilhamkan kepada Nuh 'alaihisalam untuk membuat bahtera (perahu).
Ketika azab Allah datang kepada kaumnya berupa banjir, hanya Nuh ‘alaihisalam dan kaumnya yang taat dapat selamat dari musibah itu, sedang istri dan anak serta kaumnya yang ingkar tidak dapat diselamatkan. Ketika Nuh ‘alaihisalam dan kaumnya selamat, berlabuh di suatu tempat Nuh ‘alaihisalam menyembelih qurban berupa seekor binatang sembelihan.
Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihisalam sebagai tokoh sentral dalam peristiwa kurban. Ibrahim ‘alaihisalam ketika menerima perintah Allah untuk menyembelih putra kesayangannya Ismail, Allah mengganti Ismail ‘alaihisalam dengan seekor binatang ternak, karena iman dan keikhlasan yang mendasari ketaatan Ibrahim dan Ismail ‘alaihisalam dalam menjalankan perintah Allah.
Perintah untuk menyembelih Ismail ‘alaihisalam sarat dengan makna simbolik, mengandung peringatan agar hati-hati terhadap godaan anak yang merupakan simbol dan obyek kecintaan seseorang pada dunia. Demi anak, orang tua mau melakukan apa saja untuk menggembirakan dan menolongnya. Namun jika tidak hati-hati, seseorang bisa jatuh karena kecintaannya yang berlebihan kepada anak, sehingga bisa mengalahkan cintanya kepada Tuhan.
Cinta orang tua kepada anak bisa saja tidak murni lagi, karena terbajak oleh proyeksi dan pertimbangan egonya, yang tidak hanya mengarah pada anak melainkan kepada materi, jabatan, popularitas, dan kemegahan hidup. Egoisme destruktif seperti inilah yang harus disembelih, yang dibuktikan dengan tindakan nyata berupa memotong sebagian harta kita untuk diberikan kepada fakir miskin, sebagaimana yang disimbolkan dalam penyembelihan hewan korban.
Perlu disadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan hanya menerima sepotong daging kurban, tetapi masyarakat butuh pendidikan yang berkualitas, butuh akan rasa aman, pelayanan kesehatan yang prima, dan butuh lapangan kerja. Sungguh ironis jika jumlah jamaah haji setiap tahunnya bertambah, hewan kurban pun jumlahnya semakin bertambah tanpa dibarengi dengan kesadaran untuk berkurban, menolong masyarakat yang kian menderita.
Rasulullah saw tercinta berpesan: “ada tiga hal yang wajib untuk diriku, tapi sunat untuk umatku. Yakni, salat witir, salat duha, dan berkurban”. Karena itu berkurban bagi umat Islam adalah sunat muakkad (sunat yang sangat dianjurkan). Idealnya setiap kepala keluarga muslim yang mampu menyembelih berkurban, hal ini dapat dilakukan dengan cara invest (cicilan) kurban, atau urunan (berkelompok), dan yang tidak mampu sama sekali akan mendapat pahala dari niat ikhlas mereka yang berkurban.
Mereka yang mampu akan membantu saudaranya yang tidak mampu, yang tidak mampu akan merasa terayomi. Hasil akhirnya adalah kebersamaan, keberpihakan dan kesetiakawanan sosial. (*)