Hukum Rimba di Ruang Digital

  • Bagikan
Praktisi hukum, Acram Mappaona Azis

Oleh: Acram Mappaona Azis

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Seorang pemilik mobil, tewas dihajar massa saat bermaksud mengambil mobilnya. Isteri yang kesal dengan ulah suami, memilih menghabisi hidup sang suami dengan membakarnya.

Di Makassar, bertebaran meme tentang seorang majikan yang mengkampanyekan perselingkuhan suami dengan pekerja rumah tangga. Kematian Vina di Cirebon beberap tahun silam, kemudian membuka mata publik, bagaimana hukum itu bekerja.

Hal yang tidak semestinya terjadi di negara hukum, yang menempatkan hak asasi manusia sebagai kerangka dasar hidup bermasyarakat. Dari femomena tersebut di atas, terlihat bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tatanan hukum mencapai titik terendah.

Masyarakat cenderung melakukan penghakiman di tempat terhadap orang yang belum tentu bersalah atau setidaknya bagaimana suatu kesalahan itu dapat diperbaiki setelah melalui suatu proses pemasyarakatan.

Kekerasan terhadap fisik dan jiwa seseorang menjadi penting, sebagai tanggung jawab negara dalam mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur. Variabel kesejahteraan sosial, harus ditandai dengan memperkecil gap kesenjangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Hukum sebagai perantara kepentingan antarwarga masyarakat, diharapkan dapat menjadi penyeimbang, untuk menjaga kepentingan setiap warga masyarakat dalam berinteraksi di lingkungan sosial, termasuk dalam berinteraksi dengan kekuasaan negara.

Maraknya informasi kejahatan, yang disampaikan secara detail melalui saluran publik, berdampak pada pembentukan persepsi kolektif, sehingga peristiwa-peristiwa menghilangkan nyawa orang lain dengan menghakimi pelaku di tempat kejadian, menjadi hal yang dianggap biasa dan lumrah.

Dalil pembelaan diri, tentu tidak dapat diterapkan, karena hal tersebut bukan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud hukum pidana.

Hal ini harus segera dihentikan, dengan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum. Negara, melalui infrastruktur eksekutif, legislatif dan yudikatif harus mampu meyakinkan masyarakat.

Bahwa sistem peradilan berjalan dengan memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Termasuk memperhatikan setiap perilaku sosial, yang saat ini dipengaruhi oleh informasi digital.

Ketimpangan sosial, dan perilaku kolektif memerlukan suatu rekayasa sosial, yang dapat menciptakan tatanan tertib sosial yang lebih beradap dan humanis. Sebagai pemantik untuk menemukan metodologi rekayasa sosial, adalah membangun kesetaraan dalam memperoleh layanan publik.

Layanan publik menjadi hal utama yang seharusnya tersedia disetiap sudut wilayah, untuk memastikan tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan.

Ketidaktersediaan layanan publik, menjadikan warga masyarakat membentuk persepsi sendiri, dan kemudian menjadi persepsi kelompok, yang menjadi perilaku sosial dalam suatu waktu, keadaan dan tempat tertentu.

Pintu terdepan layanan publik ini, ada di kantor kelurahan dan kantor desa, yang seharusnya menjelma menjadi one gate service 24 jam bagi setiap warga masyarakat.

Di kantor tersebut, setiap informasi sudah harus tersedia, dan terintegrasi secara vertikal dan horizontal, memiliki database, dan standart penanganan permasalahan sosial.

Transformasi fungsi tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan aparatur desa dan kelurahan sebagai pelayan publik, dan meninggalkan paradigma pemerintahan, yang berkutat dengan urusan administrasi dan ceremonial.

Permasalahan rumah tangga (lingkup terkecil), seharusnya bisa diselesaikan di tingkat desa/kelurahan, jika terintegrasi dengan instansi terkait.

Untuk memulai hal ini, dapat dilakukan dengan cara mendesak setiap desa/kelurahan memiliki database, dan membuka layanan 24 jam setiap hari, dan 7 hari dalam sepekan.

Karena tingkat kesadaran hukum tertinggi adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, maka crash program penyadaran hukum, harus menjadi prioritas setiap pemerintah daerah, demi mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur.

Dengan demikian, early warning signal dapat berbunyi, setiap kali terdapat aktivitas menyimpang di suatu lingkungan.

Ke depan, kita berharap, tidak ada lagi kejadian-kejadian penghakiman tanpa suatu proses hukum, termasuk penyelesaian proses hukum yang diselesaikan tanpa suatu proses peradilan yang baik, mulia dan terhormat.

Hal tersebut, juga akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara, dengan variabel kepastian hukum dan keamanan investasi.

Tidak ada lagi hukum rimba dan pengadilan digital (nitizen), melainkan melalui suatu kesadaran hukum, dalam mewujudkan cita hukum, membentuk tatanan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version