MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sengketa lahan di Dusun Leppangang Selatan, Desa Leppangang, Kabupaten Pinrang diadukan ke Mahkamah Agung. Alasannya, terdapat dugaan rekayasa putusan bertingkat yang terjadi di Pengadilan Negeri Pinrang, Pengadilan Tinggi Ujungpandang (Makassar), dan pembuatan berita acara eksekusi perkara.
"Kami telah mengadukan dugaan rekayasa putusan bertingkat itu ke Mahkamah Agung. Kami harap, dalam beberapa waktu ke depan akan segera ditindaklanjuti," kata Masye Priyadi selalu kuasa hukum pemilik lahan di Pinrang, Kamis (13/6/2024).
Masye mewakili pemilik lahan bernama Idris Sikki, Afendi Sikki, dan Iphul Ilang. Dia mewakili kliennya telah mengadu ke Mahkamah Agung pada 10 Juni lalu.
"Dugaan tindak rekayasa putusan pengadilan beserta eksekusinya yang penuh kejanggalan itu telah menimbulkan kerugian bagi klien kami," ujar Masye.
Dia mengatakan, putusan dan perkara itu sejatinya tidak pernah ada. Bahkan, kata dia, kliennya baru mengetahui keberadaan putusan itu pada 2023.
"Kami juga menemukan kejanggalan dalam putusan itu," ujar dia.
Beberapa kejanggalan itu yakni pada putusan pengadilan negeri tertulis nomor putusan Perdata No.23/1969/Pinrang. Sedangkan pengadilan yang menerbitkan adalah Pengadilan Negeri Parepare.
"Ini putusan tidak konsisten karena saat itu, Pengadilan Negeri Pinrang belum terbentuk," kata Masye.
Kejanggalan lain adalah, pada putusan pengadilan tinggi dan eksekusi, putusan yang dijadikan acuan yakni No.23/1968/Pinrang. Sedangkan isi dari putusan pengadilan tinggi banyak kemiripan dengan putusan pengadilan negeri.
Masye juga mengatakan, pihaknya telah melakukan observasi lapangan dan ditemukan fakta bahwa tidak ada orang yang mengenal Radda Bibi, orang yang disebut sebagai pemilik awal tanah oleh keluarga almarhum Ambo Moha.
Selain itu, almarhumah I Yabeng pada tahun putusan Pengadilan Negeri setidaknya sudah berusia 70 tahun lebih dan pastinya sudah sulit sekali menempuh perjalanan jauh dari Pinrang ke Parepare maupun sebaliknya.
"Apalagi naik turun tangga untuk menghadiri persidangan yang jelas sangat tidak mungkin sehingga terlihat betul rekayasanya," kata dia.
Selain itu, kalau ada gugatan pada tahun 1969 dan eksekusi pada tahun 1975, kenapa baru muncul surat eksekusi pada tahun 2023. Selain itu, kata Masye, adalah kemunculan surat eksekusi tersebut dari ahli waris Ambo Moha setelah yang bersangkutan meninggal dunia.
"Ini yang mengherankan bagi kami karena surat eksekusi itu baru muncul setelah Ambo Moha sudah meninggal dunia," imbuh Masye.
Menurut Masye, kliennya memiliki bukti kepemilikan dan penguasaan lahan yang sah yang diterbitkan oleh Kepala Desa Leppangang, Abbas Padual, Kepala Dusun Leppangang Selatan H Laba, dan diketahui Camat Patampanua Ashar tertanggal 17 Februari 2022.
Dalam surat itu disebutkan bahwa lahan seluas 4.703 meter persegi dengan NOP 73.15.050 001.014.0180.0 yang terletak di blok 014 Desa/Kelurahan Leppangang.
Dalam surat keterangan kepemilikan (SKK) itu menyatakan bahwa lahan itu adalah tanah kosong, riwayat penguasaan tahan mulanya dikuasi oleh almarhum Maryam Ronce pada 1990 sampai dibuatnya SKK tanah tersebut.
"Bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dengan pihak manapun. Penerbitan SKK itu juga disaksikan oleh staf Desa Leppangang bernama Hatijah," kata Masye.
Selanjutnya, kata Masye, kliennya yang merupakan keturunan dari Rontje Bin Selle juga terus membayar pajak sebagai bukti penguasaan atas lahan tersebut sejak 1957.
"Sehingga nama yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak itu adalah Rontji Bin Selle atau Mariyang Binti Rontji yang merupakan ibu kandung dari Afendi dan Idris," jelas Masye.
Tidak lama setelah SKK terbit, sambung Masye, kliennya memasang plang sebagai tanda pemilik. Namun plang tersebut dicabut oleh oknum bernama Asri Bin Muh Yusuf Paliwangi. Pencabutan plang itu berlanjut dengan hukumnya Asri atas tindakan pidana pencurian.
Masye mengatakan, selain berkas putusan rekayasa, kliennya juga mengalami intimidasi dengan menghancurkan rumah pribadi. Dia mengatakan, keluarga almarhum Ambo Moha menanam pancang tanpa dasar hak yang jelas dan hanya berdasar pada putusan yang diduga rekayasa tersebut.
"Yang janggal adalah hanya dengan satu lembar putusan eksekusi itu, mereka memasang plang dan diduga telah membagi-bagi lahan itu ke tujuh orang lainnya," ujar Masye.
"Klien kami juga dilaporkan atas dasar memalsukan surat dan menyerobot lahan. Laporan penghancuran rumah klien kami ke polisi juga tidak ditindaklanjuti hingga saat ini," sambung dia.
Atas uraian sebagian fakta tersebut, Masye berharap, Mahkamah Agung segera menindaklanjuti pengaduan tersebut. Masye juga mengatakan, pihaknya sudah mengirim pengaduan serupa ke Pengadilan Tinggi Makassar pada Rabu 12 Juni 2024.
"Kami berharap Mahkamah Agung memberi perhatian penuh kepada kasus ini sehingga klien kami mendapat keadilan yang sebenarnya," pinta Masye. (rahman)