MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Megadata bekerja sama dengan Serum Institute menggelar ngopi sore sambil diskusi terkait sosial media politica dengan mengangkat tema “Gerakan Elektoral Berbasis Konten.” Kegiatan ini berlangsung di Lapak Kopi Abangda, Jumat, 14 Juni 2024.
Dalam kesempatan itu hadir narasumber seorang penulis buku “Sosial Media Politica” Anwar Abugaza dan Direktur Duta Politika Indonesia Dedi Alamsyah yang dipandu oleh moderator Yasma Haya.
Tujuan kegiatan ini untuk membuka mindset berpikir tentang betapa pentingnya peran sosial media dalam arena perpolitikan di Indonesia. Sebab gelombang kecepatan teknologi tak bisa ditahan sehingga membawa semua sumber informasi menjadi begitu cepat diakses oleh masyarakat luas.
Isu inilah yang kemudian coba diurai oleh para narasumber terkemuka yang dihadirkan oleh Megadata bersama Serum Institute untuk mengkaji lebih dalam.
"Media sosial baru memulai kiprahnya di tahun-tahun 2010 an ke atas. Teknologi itu lahir dari kebutuhan militer, di perang dunia pertama. Dan setiap kemajuan teknologi selalu tentang militer, kemudian mengikut yang lainnya," kata Anwar yang juga Dosen Teknik Informatika.
Ia menekankan bahwa penggunaan teknologi dalam dunia politik sangat penting, sekalipun sebenarnya belum dipahami secara seksama oleh banyak orang.
"Kita mencurigai bahwa kekuasaan ingin agar politik ini tidak transparan," terangnya.
Pihaknya mencoba membuka data bahwa pemilih Prabowo-Gibran di Pilpres kemarin itu lebih 60 persen dari Gen Z.
"Karena kuatnya kerja keras tim kreatif Prabowo, hal itu bermanfaat dan paling banyak berinteraksi di Aplikasi Tiktok," kata Anwar.
Kenapa demikian, kata Anwar, karena masyarakat sudah lebih banyak mengambil informasi dari media dan media sosial, jadi bukan lagi di TV.
Di Sulsel sendiri dari 91,85 persen yang menggunakan HP, 81,45 persen di antaranya digunakan untuk sosial media dan WhatsApp.
"Di mana satu konten negatif dapat membunuh 10 konten positif," kata Anwar.
Ia menjelaskan bahwa media sosial itu mendorong partisipasi pemilih dan konten mempengaruhi perilaku pemilih.
Sementara itu, Dedi Alamsyah mengatakan bahwa masalah sesungguhnya ada pada ketidakselarasan antara politik dengan kemajuan teknologi.
"Sangat tertinggal akselerasi politik kita dengan sistem teknologi sosial media sehingga itulah yang membuat sistem kampanye konvensional terus bertahan," singmat Dedi. (Suryadi/A)