Ia menambahkan, bahwa selama pembangunan terjadi perubahan gambar dan kekurangan material yang menyebabkan pengeluaran melebihi anggaran awal, mencapai Rp42 miliar.
"Saya mau berhenti, cuma ada arahan dari Kepala Dinas PU dan Kejaksaan bilang kerja aja, pasti dibayar jadi oke saya kerja. Gambar ada yang dirubah, ada kekurangan ACP, pengeluaran saya sampai selesai itu ada Rp42 miliar dan tapi anggarannya hanya Rp33 miliar," jelasnya.
Dikarenakan anggaran pembangunan proyek gedung tersebut membengkak, Arham mengaku terpaksa meminjam uang untuk menyelesaikannya meski menghadapi masalah dalam pengembalian uang pinjaman itu. Mengingat, saat meminjam uang dari seorang temannya inisial J sebesar Rp300 juta, ada bunga sebesar 10 persen.
"Pada saat saya mau minjam ke pelapor ini awalnya saya gadaikan mobil dua, saya pinjam Rp300 juta, nanti kembali Rp350 juta, pokoknya bunganya 10 persen," ungkapnya.
Ketika proyek belum selesai pada Desember 2022, Arham mengaku mendapatkan tambahan pinjaman sebesar Rp1,1 miliar dengan bunga 10 persen. Pengeluaran yang melebihi anggaran pokok pembangunan gedung tersebut menyebabkan dirinya mengalami kerugian finansial yang signifikan.
"Saya di adendum sampai April, makanya ada media yang sorot kenapa kontraktornya tidak didenda, karena memang ini bukan kesalahan saya, kesalahannya konsultan, kesalahannya PU," lanjutnya.
Arham juga menjelaskan tentang pemotongan tagihan yang diterimanya. "Tagihan saya saat itu Rp11 miliar, tapi karena menyeberang tahun dan saya tidak mau komplain, pada saat mau pencairan saya di denda, dipotong Rp800 juta, padahal bukan kesalahan saya. Saya terima itu Rp8 miliar, utang saya diluar, material dan lain-lain kurang lebih Rp12 Miliar, berarti mines," jelasnya.