“Bahkan sampai proses administrasi melalui Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), kenapa tidak dibayarkan? Sangat disayangkan, itu tidak sedikit, menurut saya lebih dari Rp 500 miliar. Lari ke mana uangnya, kok tidak menjadi temuan BPK?” ungkapnya.
Lanjut dia, persoalan lain adalah berbagai kegiatan parsial yang dilakukan eksekutif (Pemprov) dengan mengubah APBD kegiatan.
“Parsial itu hanya kegiatan yang diubah, bukan APBD-nya, tetapi ini dilakukan perubahan. Saya mengapresiasi BPK karena mereka tidak menemukan, itu hebatnya BPK sekarang. Itu yang kita pertanyakan,” tanya Arfandi.
Dia menambahkan, paling hal ini menjadi temuan sebenarnya, tapi disayangkan BPK memberikan Opini WTP ke Pemprov dalam pengelolaan keuangan yang wajar tanpa pengecualian, padahal banyak pengecualian.
Karena ini akan berlanjut, kalau tidak ditemukan, otomatis berkaitan dengan Silpa 2023. Padahal kalau kegiatan tidak terlaksana sudah otomatis anggarannya menjadi Silpa, itu paling sedikit Rp 500 miliar. Tapi Silpa-nya hanya Rp 27 miliar.
“Karena tidak terbayarkan tahun lalu harusnya uang itu tersimpan, tapi ini malah tidak ada,” katanya.
Terakhir, dia menyoroti berbagai kegiatan yang tidak masuk dalam perda APBD tetapi terlaksana. Bagaimana prosesnya itu?
“Kami berharap BPK menjadi pintu terakhir pelaksanaan keuangan, kok hal-hal ini tidak menjadi temuan?” harapnya.