Diskusi Bulanan IMMIM Dirangkaikan MoU dengan PW IPHI Sulsel

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - IMMIM menggelar diskusi Bulanan bertajuk "Problematika Ibadah Haji". Kegiatan dirangkaikan dengan penandatanganan MoU antara Pengurus DPP IMMIM dengan Presidium Pengurus Wilayah Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PW IPHI) Sulawesi Selatan, disaksikan Ka.Kanwil Kemenag Sulsel, Kamis, 27 Juni 2024.

Turut hadir Ketua Umum DPP IMMIM Dr.KH.M.Ishaq Samad,MA, Ka.Kanwil Kemenag Sulsel diwakili Kabid Haji dan Umrah Dr.H.M.Iqbal, M.A, para Narasumber, sejumlah Pengurus DPP IMMIM, dan para mubalig dan pengurus masjid yang masuk dalam koordinasi IMMIM.

Dalam sambutannya M.Ishaq Samad menyatakan tema yang diangkat dalam diskusi kali ini tentang Haji sangat menarik, karena sejumlah permasalahan haji yang muncul beberapa waktu lalu, misalnya jamaah Haji ilegal dengan menggunakan Visa Turis.

Demikian pula lama waktu tunggu ibadah haji puluhan tahun, sehingga rata-rata jamaah haji yang berangkat haji sudah berusia Uzhur. Belum lagi setelah jamaah haji di Tanah Suci, disana banyak masalah yang dihadapi oleh para jamaah haji asal Sulsel, misalnya ada jamaah haji yang tidak mau turun dari pesawat, karena dia melihat ada banjir disekitar airport Jeddah, dst.

Dikatakan orang yang telah menunaikan ibadah haji, mendapatkan gelar haji. Mengutip pandangan Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, penyematan gelar haji ini bisa dilihat dari tiga perspektif, yaitu:

  1. Secara keagamaan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa lakukan. Oleh karena itu, gelar 'haji' dianggap layak disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya.
  2. Secara kultural, narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Hal-hal tersebut yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi.
  3. Pada masa kolonial, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan. Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

Demikian asal-usul penyematan gelar haji di Indonesia. Meski demikian, tradisi menyematkan gelar haji di depan nama jangan sampai merusak keikhlasan berhaji. Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji.

"Oleh karena itu, DPP IMMIM melaksanakan penandatangana MoU dengan Presidium IPHI supaya wadah organisasi ini bisa berkiprah di Sulsel, untuk melestarikan Haji Mabrur di Sulawesi Selatan," jelasnya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version