Hiperbola Politik: Flexing atau Drama?

  • Bagikan
Praktisi hukum, Acram Mappaona Azis

Oleh: Acram Mappaona Azis

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mesin persepsi mulai dipanaskan menyambut Pilkada Serentak 2024. Gubernur DKI Jakarta tetap menjadi sorotan nasional. Sejak diperkenalkan oleh Jokowi pada 2014, maka gubernur DKI Jakarta menjadi pijakan politik untuk menduduki kursi RI-1. Hal tersebut berlanjut ketika Anies Baswedan mencoba mempertahankan politic prudenci di Indonesia.

Batavia masih tetap menjadi kiblat Indonesia, meskipun IKN perlahan mulai mempublikasikan diri sebagai sentrum masa depan Indonesia. Infrastruktur dan populasi di Pulau Jawa, masih menempatkan Jakarta sebagai provinsi panutan, termasuk dengan sistem tata kelola yang unik dan khas. Tidak ada pemilihan wali kota di Jakarta. Yang ada hanya pemilihan gubernur.

Selain Jakarta yang menyajikan pertunjukan kekuatan elit nasional, terdapat Pilkada gubernur Sulsel yang juga mencuri perhatian publik. Klan politik yang akan bertarung mengelola APBD dan sumber daya di Sulawesi Selatan, diperhadapkan dengan kedaulatan partai politik, yang masih sentralistik.

Keputusan untuk mengusulkan pasangan calon gubernur, bupati, wali kota di daerah, memang masih tersentralisasi di Jakarta. Rekomendasi partai dikeluarkan untuk mempekerjakan calon pemimpin selama masa persiapan.

Klan Andi Amran Sulaiman (ASS), menjadi kekuatan politik baru di Sulawesi Selatan. Dipacu dengan mesin AAS Community dan diisi oleh bahan bakar Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin, kecepatan dan akselerasi klan ini, membuat dapur pacu partai politik bekerja keras untuk tetap menempatkan diri sebagai leader dalam perebutan kursi Sulsel Satu.

Partai NasDem sebagai pemenang di DPRD Sulsel, lebih dahulu takluk dengan menghibahkan kader, sekaligus caleg terpilih, Fatmawati Rusdi untuk bersanding dengan Andi Sudirman Sulaiman. Meskipun masih dalam fase 'mepppattu ada’, pasangan Sudirman Sulaiman dengan Fatmawati sudah bisa diprediksikan akan sampai ke akad politik pasangan calon gubernur dan wakil guberur Sulsel.

Hal tersebut kemudian membuat Partai Gerindra menampilkan politisi terbaiknya, Andi Iwan Darmawan Aras untuk terjun dalam arena pilkada. Di sisi lain, anak lorong dari Kota Makassar, yang tidak memiliki klan dan partai politik, terus melakukan penetrasi kekuatan, dengan menampilkan karya dan konsep.

Megahnya Kota Makassar selama sembilan tahun terakhir dan melalui pertarungan politik yang keras, Danny Pomanto bukan figur kaleng-kaleng. Prestasi dan jaringan nasional, kematangan memainkan ritme politik, menjadikan Danny Pomanto menjadi harapan bagi kekuatan non klan dan non partai.

Apakah setiap perilaku politik hari ini sekadar flexing? Memamerkan seuatu secara berlebihan (hiperbola) atau sebuah drama yang harus diperankan untuk menjaga persepsi publik, bahwa politik adalah jalan menuju kesejahteraan?

Flexing yang merumuskan perilaku pamer terhadap suatu hasil, dilakukan untuk meyakinkan publik, bahwa hasil merupakan bukti nyata dari suatu proses. Tidak ada rumusan gagal dalam perilaku flexing, yang disampaikan hanya berhasil dan bukti.

Di sisi lain, drama dipertontokan, seperti serial Korea atau film layar lebar yang sedang diputar di XXI berjudul Ipar adalah Maut. Kisah tentang pengkhianatan hubungan karena hasrat dan nafsu.

Dalam sudut ruang pengamatan, tafsir kemudian dimunculkan, dengan menggunakan metodologi teologis, sampai pada tafsir gramatikal yang harus menghinakan analogi. Hiperbola yang bertebaran di ruang publik mulai menyebar, antara pertarungan kekuatan modal (cost politik), dengan kekuatan mesin politik dan kekuatan jaringan.

Pada akhirnya variabel kesejahteraan sebagai sebagai wahyu konstitusi terabaikan, dan rakyat hanya disajikan majas, perilaku flexing dan drama yang akan berakhir di Januari 2025.

Di ujung Pantai Losari, menyertai ufuk yang memerah menuju gelap, perdebatan antara ilmuan, jurnalis, penikmat, dan penyaji kopi tertawa riang. Dengan penuh keyakinan, mentari itu akan terbit lagi esok. Dan mereka akan tetap di kedai kopi menikmati hari tanpa uluran kasih kekuasaan. (*)

Penulis merupakan praktisi hukum di Sulawesi Selatan

  • Bagikan