Pada tahun 2017, Pilkada dilaksanakan di 101 dapil, dengan 47 perkara diteruskan ke Polri, 36 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan setelah penyidikan oleh polisi, dan 11 perkara dihentikan karena bukti yang tidak cukup atau cacat formil.
Di tahun 2018, Pilkada dilaksanakan di 171 dapil, dengan 158 perkara diteruskan ke Polri, 139 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan setelah penyidikan oleh polisi, dan 19 perkara dihentikan karena bukti yang tidak cukup atau cacat formil.
Terakhir, pada tahun 2020, Pilkada dilaksanakan di 270 dapil, dengan 171 perkara diteruskan ke Polri, 112 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan setelah penyidikan oleh polisi, dan 59 perkara dihentikan karena bukti yang tidak cukup atau cacat formil.
Menurut Muslimin, tindak pidana yang terjadi masih berkaitan dengan keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, pelecehan, merusak alat peraga kampanye, dan lain-lain.
"Dengan melihat tren ini, dengan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, potensi terjadinya tindak pidana pemilihan ini biasanya meningkat. Hal ini perlu diwaspadai oleh rekan-rekan, khususnya para Kapolres dan penyidik tindak pidana pemilu," ungkap Muslimin.
Lebih lanjut, Muslimin juga memaparkan data tindak pidana pemilu pada Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pileg 2019 dan 2024. Pada tahun 2019, dari 849 laporan atau temuan dugaan tindak pidana Pemilu, 367 perkara diteruskan ke Polri, 314 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, dan 53 perkara dihentikan karena penyidikannya.
Sementara pada tahun 2024, terjadi penurunan jumlah laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu menjadi 432 kasus, dengan 133 perkara diteruskan ke Polri, 112 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, dan 21 perkara dihentikan.
"Politik uang atau money politics, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masih menjadi tindak pidana yang sering terjadi," pungkasnya. (Isak/B)