Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Belum lama ini, seorang teknokrat dan ilmuan kenamaan tanah air disorot media dengan narasi: mendadak politisi. Terbilang kabar penting, sebab sepanjang karier sang tokoh, teramat minim di arena politik. Meski secara geneologis, ayahnya adalah seorang politisi yang juga berlatar teknokrat. Namun, apakah pilihan mendadak politisi ini sungguh-sungguh mengejutkan? Rasanya tidak!
Kabar ini justru semakin meneguhkan persepsi publik bahwa dunia politik memang memukau. Politik dapat memantik siapa saja untuk gandrung. Tidak perduli ia seorang ilmuan, rohaniawan, atlet, atau bahkan lulusan kampus yang freshgraduate.
Arena politik praktis adalah panggung bebas dimana semua orang dapat berdendang di atasnya, merayakan kebebasan. Memintal hasrat kuasa, meski awalnya mungkin coba-coba.
Pilihan untuk terjun ke dunia politik secara mendadak, sekali lagi bukanlah hal bombastis. Bersiaplah untuk merayakannya sebagai era surplus politisi. Era di mana orang-orang memproyeksikan dirinya suatu ketika ada di ranah politik dan kekuasaan.
Ada dua argumen spekulatif menggambarkan eskalasi fenomena ini. Pertama, dunia politik menjanjikan kehidupan yang serba mentereng. Hanya di ranah ini, status sosial seseorang dapat dikonstruksi menjadi lebih kokoh, lebih superior. Kedua, dunia politik dinilai sebagai gerbang all acces dalam rencana besar mengakumulasi sumber daya, baik ekonomi, budaya, hingga modal simbolik.
Untuk menuju ke sana, setiap orang dapat memilih cara yang tentu berbeda-beda. Tutorial dan literatur ber-politik melimpah. Ini dapat diakses dari historiografi pentas demokrasi setidaknya selama lebih dari dua dekade pasca reformasi. Juga dari pengayaan strategi politik yang berserakan di kanal-kanal informasi.
Termasuk di dalamnya, akses meng-hire konsultan politik atau tink thank yang pakar mendampingi pemenangan politik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa politik praktis dapat dirintis oleh siapa pun. Semua bisa mendadak politisi!
Sayangnya, jalan terjal memintal impian politik tidak selalu linear berdasar pada teori politik klasik. Semua bergerak layaknya pergerakan pasar saham. Fluktuatif dan unpredictable.
Pemilu 2024 belum lama ini telah mengajari kita tentang suatu fakta yang lebih tepat dinamai realisme aneh. Keanehan-keanehan itu tampak pada banyaknya fakta-fakta di luar nalar dan kelaziman. Bahkan melampau analisa hitungan-hitungan matematis.
Lihatlah, di suatu daerah pemilihan (dapil), misalnya, ada partai tertentu yang menguasai kursi legislatif mencapai tiga puluh hingga lima puluh persen. Padahal demokrasi kita multi-partai. Bayangkan betapa dominasi itu bisa dikukuhkan. Dengan variabel apakah yang kira-kira digunakan mencapai hal tersebut? Apakah dengan modal sosial, basis keluarga, mesin jejaring politik, uang, strategi atau akumulasi segalanya?
Jawabannya bisa spekulan pula. Semua bisa terjadi di luar hitungan matematika politik. Anomali politik dapat terjadi kapan saja. Ini beriringan dengan kemunculan orang-orang yang sebelumnya mungkin tidak pernah diperhitungkan namun bisa melenggang.
Sebaliknya, ada figur-figur yang dulunya kokoh dengan sumber daya politik yang akumulatif, faktanya bertumbangan. Fenomena lain, ada pula politisi, misalnya, yang tetap kokoh terpilih di parlemen lebih dari empat periode—meski tidak ada hal signifikan menandai keberhasilannya.
Suprlus Politisi dan Impian Berdemokrasi yang Utopis
Keanehan dan anomali dalam politik yang terus diproduksi dari pemilu dan pilkada sudah sampai pada era surplus politisi. Sayangnya, kita tidak sedang melek politik. Demokrasi diorkestrasi di permukaan sahaja yakni pada ranah konfigurasi elite, kandidasi, intrik politik, dan aspek formal berdemokrasi yakni bagaimana pemilihan digelar dengan aman dan damai.
Neil deGrasse Tyson, seorang astrofisikawan asal Amerika Serikat pernah bilang jika dirinya mendambakan dunia di mana kebenaran membentuk politik masyarakat, bukan politik yang membentuk apa yang diyakini kebenarannya. Pernyataan ini memberi pesan menarik betapa demokrasi subtantif sejatinya harus berbasis pada nilai-nilai kesetaraan, keadilan, bukan karena politik uang dan malpraktik demokrasi.
Demokrasi yang hanya surplus politisi boleh jadi hanya layak dirayakan layaknya pesta. Demokrasi yang sehat sejatinya dirayakan dari akar rumput oleh masyarakat seperti dituturkan Neil. Lalu, bagaimanakah demokrasi yang dirayakan di akar rumput?
Jurgen Habermas menyebut demokrasi sehat bukan soal kemenangan dan suara mayoritas—tetapi terbangunnya proses diskusi yang kuat di akar rumput atas argumentasi rasional. Poinnya adalah demokrasi haruslah mengedepankan nalar dan kewarasan. Demokrasi yang sehat dikuatkan pula oleh Robert Dahl, sebagai demokrasi subtantif yang berorientasi pada pentingnya menjunjung tinggi etika demokrasi.
Sampai di sini, kita perlu melihat fenomena surplus politisi ini dalam dua kacamata. Pertama, sebagai sebuah hal positif yang menguntungkan bagi kemajuan demokrasi kita. Kehadiran dan kemunculan banyak orang terlibat dalam panggung politik baik sebagai pelaku, penonton aktif, merupakan awal mula demokrasi dipandang tidak sekadar rutinitas dan urusan struktural—namun sebagai sebuah arena kultural yang laten dalam kehidupan berbangsa.
Kedua, melihatnya sebagai pertanda buruk bahwa kualitas demokrasi kita sedang kritis. Masyarakatnya rabun dalam melihat dan memaknai politisi. Mereka sulit membedakan mana politisi sungguhan, mana politisi palsu. Mana politisi yang punya visi perubahan dan nothing to lose, mana yang hanya berjuang untuk hasrat kuasa diri dan keluarganya.
Apa pun itu, demokrasi kita sampai di titik surplus politisi. Kabar baiknya adalah kita dapat merayakan maraknya janji-janji politik bergenta di mana-mana. Trik menghadapinya simpel saja, Mark Hanson dalam bukunya memandu tutorial paling waras menghadapinya yakni dengan seni bersikap bodo amat. Biarkan waktu menjawab, siapa yang sesunggunya politisi layak diberi tepuk-tangan! (*)
Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas