Kepala Desa Rawan Ditunggangi

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kepala-kepala desa menjadi salah satu elemen yang rawan ditunggangi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024. Posisinya yang langsung bersentuhan dengan para wajib pilih berpotensi dimanfaatkan oleh tim-tim pasangan calon yang ikut berkontestasi. Sentra Penegakan Hukum Terpadu mencatat, kepala desa masuk dalam kategori pelanggaran tertinggi dalam setiap perhelatan elektoral.

Peran kepala desa dalam Pilkada Serentak 2024 menjadi atensi serius dari tim Gakkumdu. Direktur Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara dan Ketertiban Umum dan Tindak Pidana Umum Lainnya, pada Jaksa Agung Pidana Umum, Kejagung RI, Agus Sahat Sampe Tua Lumban Gaol mengatakan ancaman pelanggaran yang patut menjadi perhatian adalah aktivitas kepala desa yang rawan disusupi oleh kelompok politik tertentu.

"Kepala desa bisa saja menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pilkada," kata Agus Sahat pada acara Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu di Hotel Claro Makassar, Kamis (27/6/2024).

Menurut Agus Sahat, dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 490, peran kepala desa telah diatur. Dia mengatakan, setiap kepala desa yang dengan sengaja membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.

Termasuk, sambung dia, dalam pasal 280 ayat (2) Undang-undang Pemilu juga mengatur kepala desa dilarang diikutsertakan sebagai pelaksana atau tim kampanye dalam pemilu. Pada pasal itu juga disebut kepala desa, perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa, Badan Usaha Milik Desa dilarang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.

"Untuk pertama ini mungkin sangat rawan karena ada hubungan relasi kuasa antara pejabat dengan kepala desa, makanya ini harus diperhatikan," imbuh Agus Sahat.

Selain Kepala Desa, pelanggaran Pilkada kedua yang turut diwanti-wanti yakni mengenai politik uang. Mengingat selama Pemilu dan Pileg 2024, Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menemukan perputaran dana sebesar Rp80 triliun. Dana tersebut melibatkan partai politik hingga pejabat aktif.

"Kemudian adanya politik uang, dan mungkin akan masih (terjadi dalam Pilkada) karena rilis PPATK dalam Pemilu kemarin itu terdapat banyak uang yang mencurigakan," imbuh dia.

Bukan hanya itu, tiga pelanggaran lainnya juga diminta diperhatikan Tim Gakkumdu saat bekerja nantinya. Seperti merusak, menghilangkan alat peraga kampanye peserta, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan, juga memberikan suara atau memilih lebih dari satu kali di satu Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Kerawanan cukup tertinggi pada Pemilu yaitu memberikan uang atau janji atau materi lainnya dalam hal ini politik uang. Termasuk memberi suara lebih dari satu kali atau mengaku dirinya sebagai orang lain ini juga termasuk (rawan terjadi)," sebut Agus.

Di hadapan para Kajari, Kapolres, KPU, Bawaslu dan penyidik Tim Gakkumdu lainnya, Agus turut memaparkan data penanganan perkara yang terjadi selama Pemilu dan Pileg 2024. Dari data per 20 Juni 2024 itu, terdapat 176 perkara yang ditangani Tim Gakkumdu, dengan rincian 4 perkara pada tingkat Pra Penuntutan (Patut), 29 perkara tingkat Penuntut, dan 143 perkara berhasil di eksekusi.

Dari 176 perkara ini, 15 persen di antaranya merupakan perkara politik uang dan perkara memberikan suara lebih dari satu kali.
"3 perkara mendapatkan putusan bebas dengan alasan daluwarsa dan terdapat perbedaan pemahaman antara majelis hakim dengan sentra gakkumdu," ujarnya.

Senada dengan itu, Analis Kebijakan Utama Bidang Pidum Bareskrim Polri, Komisaris Besar Muslimin Ahmad turut memaparkan bahwa potensi tindak pidana Pemilu dalam Pilkada serentak 2024 diperkirakan cenderung meningkat. Data tersebut merujuk pada pelaksanaan Pilkada tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2015 Pilkada digelar di 269 daerah pemilihan (dapil). Berdasarkan, data yang dipaparkannya sebanyak 34 perkara diteruskan ke Polri, 22 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan (setelah dilakukan penyidikan polisi), dan 12 perkara dihentikan karena tidak cukup bukti maupun cacat formil.

Kemudian pada tahun 2017, Pilkada digelar di 101 dapil. Pada tahun itu, terdapat 47 perkara yang diteruskan ke Polri, 36 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan (setelah dilakukan penyidikan polisi), dan 11 perkara dihentikan karena tidak cukup bukti maupun cacat formil.

Selanjutnya, pada tahun 2018, Pilkada digelar di 171 dapil. Dimana, ada sebanyak 158 perkara diteruskan ke Polri, 139 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan (setelah dilakukan penyidikan polisi), dan 19 perkara dihentikan karena tidak cukup bukti maupun cacat formil.

Dan terakhir pada tahun 2020, Pilkada digelar di 270 dapil. Di tahun itu, terdapat 171 perkara diteruskan ke Polri, 112 perkara dilimpahkan ke Kejaksaan (setelah dilakukan penyidikan polisi), dan 59 perkara dihentikan karena tidak cukup bukti.

Tindak pidana yang terjadi tersebut, kata Muslimin, masih berkaitan dengan perbuatan-perbuatan membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon, menghina, merusak alat peraga kampanye dan sebagainya.

"Artinya kalau kita melihat tren ini, dengan 37 provinsi dan 508 kabupaten kota, potensi terjadinya tindak pidana pemilihan ini biasanya cenderung meningkat. Ini yang perlu rekan-rekan khususnya para Kapolres, kemudian penyidik tindak pidana pemilu perlu waspadai," ungkap Muslimin.

Lebih jauh, Muslimin juga memaparkan data tindak pidana pemilu dalam gelaran Pilpres dan Pileg 2019 dan 2024. Untuk tahun 2019 dari 849 laporan atau temuan dugaan tindak pidana Pemilu, terdapat 367 perkara yang diteruskan ke Polri. Sementara 314 perkara di antaranya dilimpahkan ke Kejaksaan, dan 53 perkara dihentikan penyidikannya.

Sedangkan tahun 2024, disebut terjadi penurunan. Dari 432 laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu, terdapat 133 perkara yang diteruskan ke Polri. Sebanyak 112 perkara di antaranya dilimpahkan ke Kejaksaan, dan 21 perkara dihentikan.

"Politik uang atau money politic, tadi sudah disampaikan ini merupakan tindak pidana yang masih sering terjadi," ujar dia.

Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja menyatakan potensi kerawanan Pilkada 2024 bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pilkada dan pemilu sebelum-sebelumnya. Menurut dia, potensi kerawanan Pilkada 2024 tinggi dikarenakan persaingan yang sangat tinggi antarcalon di masing-masing daerah seluruh Indonesia.

"Perbedaan daerah masing-masing bisa memicu terjadinya konflik. Apalagi semua calon pasti ingin menang sehingga persaingan juga tinggi," ujar Rahmat.

Bawaslu mencatat secara nasional jumlah pelanggaran Pilkada 2020 mencapai 5.334 kasus dengan klasifikasi temuan 3.746 dan aduan 1.588.

Adapun pelanggaran administrasi, kata dia, 1.535 kasus, berkaitan pemasangan APK tidak sesuai ketentuan perundang-undangan. Begitu juga pelanggaran kode etik 292 kasus, berkaitan penyelenggara ad hoc seperti PPK, PPS, KPPS yang berpihak pada paslon tertentu. Kemudian, tindak pidana pemilihan 182 kasus, dimana kepala desa melakukan tindakan menguntungkan salah satu paslon dan politik uang.

"Serta pelanggaran hukum lain yang terkait dengan pemilihan 1.570 kasus. ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial," ujar dia.

Adapun catatan Bawaslu pada pelanggaran Pilkada 2020 di Sulsel terdapat temuan 79 kasus, laporan 89 kasus, dan hasil penanganan pelanggaran 82 kasus.

"Jenis pelanggaran kode etik 31 kasus, pidana 22 kasus, hukum lain 25 kasus, proses penanganan pelanggaran 33 kasus," beber Bagja.

Oleh sebab itu, Bagja berharap pihaknya dapat terus bersinergi dengan TNI, Polri, dan Kejaksaan selama tahapan Pemilu 2024 berlangsung, termasuk Pilkada 2024 mendatang.

"Tentu, sinergi diperlukan untuk menghadapi angka kerawanan Pilkada 2024 yang berpotensi lebih besar dibandingkan Pilpres 2024," tutur.

Bagja mengatakan, proses penertiban alat peraga atau proses kampanye terutama pada peletakannya atau posisi baliho yang kerap menjadi polemik di masyarakat saat ini masih berada pada tanggung jawab masing-masing pemerintah daerah.

“Saat ini peraturan terkait dengan penyebaran alat kampanye masih berada pada kewenangan pemerintah daerah, nanti setelah masuk masa kampanye akan ada peraturan PKPU tentang pemasangan alat peraga kampanye,” ujar dia.

Pada umumnya, kata dia, peraturan itu pelarangan pemasangan alat peraga kampanye itu tidak bisa dilakukan di rumah ibadah, wilayah pendidikan, atau fasilitas umum milik pemerintah, kecuali gelanggang olahraga. Namun, kata dia, sebelum PKPU itu keluar, pemerintah daerah juga diharapkan untuk berkoordinasi dengan KPU setempat terkait dengan zonasi masa kampanye itu.

Adapun, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari menyampaikan paparan materi kaitan kesiapan dan dinamika penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Menurut dia, dalam menyusun jadwal tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mempertimbangkan beberapa hal. Pertimbangan utama yaitu tahapan akan dirancang secara efisien dan efektif baik secara anggaran maupun hal lain terhadap dukungan penyelenggaraan.

"Sehingga tahapan ini bisa berjalan dengan efisien dan efektif baik secara anggaran maupun hal lain terhadap dukungan tahapan-tahapan," kata dia.

Hasyim menyampaikan dalam pelaksanaan pilkada nanti tentu mengharapkan melahirkan pemimpin yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dia mengatakan, masyarakat juga harus mengontrol partai politik untuk mengajukan tuntutan kriteria calon kepala daerah untuk diusung, sehingga partai politik juga akan mempersiapkan kandidat sesuai dengan acuan kriteria masyarakat.

“Partai politik jangan berjalan sendiri, partai politik juga harus dikawal diberikan masukan, diajukan kriteria calon kepala daerah yang diminati oleh masyarakat,” tutur dia.

Dia mengatakan, masyarakat jangan mengajukan komplain terkait dengan kualitas kepala daerah jika tidak melakukan pengawalan dan pengajuan masukan terkait dengan kriteria kepala daerah yang diinginkan masyarakat. Menurut itu, akan menjadi salah satu langkah untuk memudahkan masyarakat dalam menentukan pilihan pelaksanaan pilkada nanti, mana calon kepala daerah yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Tak hanya itu, ia juga memberikan penguatan kepada para penyelenggara pemilu untuk menjadi manajer konflik yang telaten, terutama menjaga diri untuk terus bersikap netral menuju pelaksanaan pilkada.

“Untuk KPU jangan pernah melakukan tindakan yang kira-kira menimbulkan potensi konflik. Bekerjalah secara profesional dan berintegritas,” kata dia. (isak pasa'buan/C)

  • Bagikan

Exit mobile version