Lebih jauh, disampaikan Agus Salim, dihadapan Komisi III DPR RI kendala yang dihadapi selama menangani RJ yaitu, masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya manfaat dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif, sehingga masih ditemukan masih ada kalangan masyarakat yang tetap ngotot agar perkara dilanjutkan ke pengadilan, walaupun telah diupayakan mediasi oleh para Jaksa Fasilitator di Kejaksaan Negeri.
Kemudian belum adanya terobosan regulasi yang secara khusus mengatur perluasan cakupan persyaratan penyelesaian perkara melalui pendekatan RJ, masih rendahnya supporting /dukungan Kepala Daerah untuk pembentukan Balai Rehabilitasi Narkotika di Kabupaten/Kota, dan perlunya peningkatan secara massif sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat penyelesaian perkara melalui pendekatan RJ.
“Untuk membangun sinergitas, koordinasi, dan kerjasama yang terpadu serta harmonis dengan kepolisian daerah Sulawesi Selatan dan Kantor wilayah kementerian hukum dan HAM Sulawesi Selatan dalam penerapan restoratif justice atau RJ di provinsi Sulawesi Selatan, telah dilakukan Upaya-upaya yang dilakukan ialah, secara rutin melaksanakan coffe morning tiap awal bulan antara jajaran Bidang Tindak Pidana Umum Kejati Sulsel dengan jajaran Dir Krimum, Dir Krimsus dan Dir Narkoba Polda Sulsel, dalam SOP penyelesaian perkara RJ," ungkapnya.
"Setiap penerbitan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif, selalu ada penyampaian secara tertulis diantaranya kepada Ketua Pengadilan Negeri, Kapolres dan Kepala Rutan, Aktif dalam kegiatan rapat koordinasi yang melibatkan jajaran Polda Sulawesi Selatan dan jajaran Kanwil Kemenkumham Provinsi Sulawesi Selatan, mengedepankan upaya koordinasi yang baik antara Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Sulsel dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Provinsi Sulsel dalam penyelesaian permasalahan penanganan perkara dan penahanan,” tutup Agus Salim. (Isak/B)